Translate

Kamis, 19 Februari 2015

TUKANG SUMPIT AHLI PENA


TUKANG SUMPIT AHLI PENA

Tukang sumpit ahli pena, barangkali inilah julukan yang cocok bagi seorang penjual mie ayam yang mempunyai cita-cita menjadi seorang penulis terkenal. Dia seorang siswa SMA N 1 Salatiga kelas XII, ia bernama Budi Cahyono, lahir di desa kecil bernama Rekso pada tanggal 02 Februari tahun 1995. Sejak kecil disela waktu belajar dan sekolahnya ,setiap hari Budi membantu ibunya untuk berjualan mie ayam. Sehingga dia jarang bermain seperti layaknya anak sebayanya, karena dia harus membantu ibunya bekerja. Akan tetapi Budi tidak pernah mengeluh akan hal ini, justru dia sangat bersemangat karena dapat membantu pekerjaan orang tuanya. Disela kesibukannya itu Budi selalu membaca buku dan berlatih menulis karena dia menyukai dunia jurnalistik yang menjadi cita-citanya itu yakni menjadi seorang penulis hebat yang dikenal seluruh dunia yang bukunya dibaca oleh semua orang. Dari sinilah Budi berterkat ingin menjadi seorang penulis, ini tak lepas dari kesehariannya yang selalu menuliskan aktivitasnya diatas kertas sedangkan membaca dan menulis menjadi hobinya. Budi sangat berbakti kepada orang tuanya, dan tidak pernah jengkel ataupun marah saat disuruh untuk membantu berjualan mie ayam. Setiap pulang sekolah dia bekerja membantu ibunya, sehingga dia mahir membuat mie ayam, dan dengan sifatnya yang periang itu dia sangat mahir memainkan sumpitnya dalam membuat mie ayam, dia melakukan beberapa atraksi kecil dengan sumpit, dan bahkan saat sepi pelanggan dia menggunakan sumpit untuk mengarang menulis dimeja sebagai bentuk aktualisasinya dalam berkarya. Terkadang dia sering melamun dengan memegang sumpit sambil menulis nulis di meja, sempat Budi ditegur oleh ibunya “Budi, jangan ngelamun terus ah, itu lo ada pelanggan yang mau membeli mie ayam” , Budi pun menjawab “iya bu, sebentar, Budi akan segera membuatkannya”.Budi pun bergegas melayani pelanggannya itu.
Singkat cerita, disuatu pagi yang cerah Budi berangkat sekolah bersama dua temannya Ahmad dan Satrio. Mereka berangkat bersama-sama menaiki angkot, karena kebetulan motor Budi dan Satrio sedang dibawa ayahnya keluar kota. Saat diperjalanan, mereka berbincang-bincang saling menanyakan cita-cita dan kemana setelah lulus dari SMA. Budi berkata ” eh Ahmad dan Satrio, apa cita-cita kalian dan mau kuliah dimana nih?” Ahmad pun menjawab “kalau aku si ingin menjadi seorang dokter dan melanjutkan study ke Universitas Gajah Mada”. kemudian Satrio ikut menjawab” kalau aku mau meneruskan study ke luar negeri karena aku ingin menjadi seorang pengusaha sukses”. Kemudian Budi sendiri mengatakan bahwa dirinya ingin menjadi seorang penulis dan ingin melanjutkan study ke Universitas Diponegoro. Disaat mereka sedang asyik berbincang-bincang tidak sadar bahwa mereka telah sampai di sekolah. Dan mereka pun segera menuju ke ruang kelas.
Budi anak lelaki yang sangat rajin di sekolahnya dia merupakan siswa teladan dan menjadi contoh bagi teman-temannya. Karena ketekunan dan kebaikan hatinyalah Budi banyak dikagumi oleh teman-temannya terutama anak-anak gadis di sekolahnya. Saat pelajaran berlangsung tak lama kemudian bel sekolah berbunyi yang menandakan waktunya untuk pulang. Tiba-tiba Budi berkata “eh mad, jam segini kok sudah pulang ya tumben banget”. Ahmad menjawab “tadi pak Harun bilang bahwa dewan guru akan melakukan rapat untuk pelaksanaan Ujian Nasional. Oh gitu, ya sudah yok kita pulang saja kata Budi sambil tersenyum senang. Akhirnya Semua siswapun pulang kerumahnya masing-masing, begitupun Budi sesampainya dirumah dia melakukan aktifitasnya membantu berjualan mie ayam.
Sampailah saat-saat yang menegangkan bagi Budi dan teman-temannya. Pada tanggal 16 Maret 2012 diadakan Ujian Nasional, Budi sangat bersemangat saat mengerjakan soal-soal ujiannya tanpa mengalami kesulitan dalam mengerjakan soal. Tibalah saat-saat mendebarkan yang membuat seolah detak jantung berhenti yaitu proses pengumuman kelulusan yang akhirnya Budi dapat lulus dengan nilai terbaik. Budi merasa sangat gembira akan hal ini. Kemudian selang beberapa bulan Budi bermaksut melanjutkan study atau kuliah. Budi pun mendaftar di Universitas Diponegoro (UNDIP) untuk mengikuti SBMPTN 2013. Dengan optimis pagi itu saat Budi berangkat untuk pelaksanaan Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) yang akan dilaksanakan pada pukul 07:00 WIB, Budi bergegas menyiapkan perlengkapan yang diperlukan, akan tetapi pagi itu Budi bangun kesiangan sehingga dia terburu-buru dalam menyiapkan perlengkapannya. Setelah Budi selesai menyiapkan segala perlengkapannya ia pun bergegas berangkat menuju Tembalang menggunakan sepeda motor, dengan perasaan cemas dan khawatir Budi mengendarai motornya dengan sangat kencang karena takut terlambat. Saat diperjalanan naasnya Budi mengalami kecelakaan, Budi jatuh dari motor sehingga tangan dan kakinya luka-luka, dan motornya rusak. Akan tetapi Budi tetap bertekat ingin mengikuti SBMPTN, dengan keadaan terluka dia mengendarai motornya yang setengah rusak itu, akan tetapi diperjalanan ternyata akibat kecelakaan itu ban motornya kempes, hal itupun membuat Budi merasa sangat putus asa, saat melihat jam tangannya yang menunjukan pukul 07:00 WIB menambah keputus asaan Budi, saat diujung keputusasaan, semangat Budi kembalibagkit. Bahwasanya dia tidak akan menyerah sampai disini. Kemudian dia mencari tumpangan untuk bisa sampai ke Tembalang. Dan akhirnya dengan segala perjuangannya untuk sampai di kampus, Budi dapat mengerjakan soal-soal SBMPTN walaupun dia terlambat dan sambil menahan rasa sakit akibat kecelakaan itu. Dengan penuh semangat budi tak mau kalah dengan peserta lainnya dengan penuh keyakinan Budi mampu menyelesaikan soal-soal SBMPTN.
Sampailah pada pengumuman hasil Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) tahun 2013, Budi pun bergegas melihat pengumuman itu di internet, akan tetapi barangkali ini belum keberuntungan Budi karena ternyata dia tidak lolos, alangkah kecewa dan jengkelnya Budi melihat hasil itu, karena dia melihat bahwasanya perjuangannya dalam pelaksanaan SBMPTN yang begitu berdarah dan penuh perjuangan namun ternyata Tuhan berkehendak lain. Dengan Besar hati Budi menerima itu semua. Sesampai dirumah Budi berkata dengan ibunya “ bu. . . Budi. . Budi gak lolos seleksi, (sambil bersedih). . “ ibu pun menjawab “Budi yang sabar ya, ambil saja hikmahnya pasti ada hikmah dibalik ini semua, kali ini Tuhan belum mengijinkan Budi untuk kuliah tapi kan masih ada tahun depan”. Budi pun bergegas masuk kamar seraya meninggalkan ibunya yang sedang bekerja. Didalam kamar Budi merenung, dalam hatinya berkata “ya Tuhan kenapa Engkau tidak mengijinkanku untuk menggapai cita-citaku??” seketika itu didalam hati kecilnya terbisik teringat akan cita-cita besarnya, sehingga membangkitkan semangat Budi untuk tetap berjuang dalam mewujudkan cita-citanya. Budi teringat akan kata-kata ibunya bahwa ini semua belum selesai dan masih ada tahun depan. Kemudian Budi memutuskan untuk mengikuti SBMPTN tahun depan demi mewujudkan cita-citanya. Dalamselang waktu satu tahun sambil menunggu SBMPTN tahun depan, keseharian Budi diisi dengan belajar dan membantu ibunya berjualan mie ayam. Dan sempat dia berjualan sendiri karena ibunya sedang sakit.
Hingga akhirnya tibalah waktu yang dinantikan oleh Budi, setelah sekian lama menunggu moment ini tentu Budi tidak akan menyia-nyiakannya. Dengan pengalaman dan bekal yang lebih dari cukup Budi mengikuti SBMPTN 2013 dengan tenang dan penuh konsentrasi, selang beberapa hari hingga tiba pengumuman, pada akhirnya Budi dapat lolos seleksi, seketika itu Budi bersujud mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Budi pulang dengan membawa kegembiaraan, hingga sampai dikamarnya dia kembali berkata “Tuhan inikah rencana-Mu yang sebenarnya. . terima kasih Tuhan” sambil meneteskan air mata karena begitu bahagianya. Dan akhirnya budi selangkah lebih dekat untuk menggapai cita-citanya menjadi seorang penulis terkenal.
Budi memulai kehidupannya yang baru yakni menjadi seorang mahasiwa, dari sinilah dia mulai berkarya dengan banyak menulis beberapa tulisan yang ditempelkan di mading kampus, bahkan Budi selalu mengikuti seminar ataupun training motivasi jurnalistik, dari semangatnya inilah Budi mencari informasi perlombaan-perlombaan karya tulis, dia pun dengan semangat mengikuti perlombaan disegala ajang. Disetiap aktivitasnya Budi tidak pernah lepas dari membaca buku, dia sangat gemar membaca buku bahkan dia mampu menghabiskan satu buku dalam sehari, karena baginya untuk menjadi seorang penulis yang baik haruslah dimulai dari menjadi pembaca yang baik. Kemudian disela-sela kesibukannya didunia perkuliahan Budi tidak berhenti untuk terus menulis, bahkan sampai tempat tinggalnya (kamar) dipenuhi kertas tulisan-tulisannya. Setiap malam dia selalu berdo’a kepadaTuhan untuk menjadi seorang penulis terkenal. Hingga suatu saat Budi mendapat juara satu lomba karya tulis ilmiah yang diadakan oleh Universitas Indonesia (UI) untuk kategori mahasiswa perguruan tinggi se Indonesia, hal ini membuat Budi semakin dikenal oleh khalayak ramai didalam dunia jurnalistik dan menorehkan tinta emas. Dari hal ini budi belum berpuas diri bahwasanya cita-citanya masihlah jauh, maka dari itu dia terus melatih dirinya agar dapat meraih cita dan mimpinya.
Menjelang akhir study strata satu yakni semester tujuh, Budi telah mampu menulis sebuah buku yang berjudul “rahasia sebuah semangat” dan dia bermaksut untuk menerbitkannya. Akhirnya keinginannya itu tercapai dan bukunya cukup laris dipasaran. Kemudian saat Budi telah menyelesaikan study strata satunya ternyata Tuhan memberinya hadiah berupa beasiswa keluar negeri karena menjadi wisudawan terbaik. Dari sinilah nama Budi mulai dikenal oleh dunia, dia selalu menulis buku-buku inspiratif, fiksi maupun novel. Selama diluar negeri Budi bertemu dengan teman lamanya yang kebetulan ada di kota yang sama, ya namanya adalah Satrio. Mereka sangat senang karena dapat bertemu kembali setelah berpisah sekian lama, kemudian mereka saling melepas rindu dan saling berpelukan.
Setelah menempuh study megister diluar negeri Budi banyak menulis buku, bahkan dia mendapat undangan untuk mengisi sebuah acara dalam dunia jurnalistik karya tulis di beberapa negara seperti Inggris, Canada, Singapoera, dan Amerika. Budi akhirnya dapat mewujudkan cita-citanya untuk menjadi seorang penulis terkenal yang bukunya dibaca oleh semua orang di dunia. Budi telah mengharumkan nama bangsa indonesia di mata dunia, dan setelah Budi pulang ke Indonesia budi telah menjadi seorang penulis yang tersohor sesuai apa yang ia cita-citakan dan hidup denganbahagia. Semangat Budi yang tinggilah yang tidak mengenal kata putus asa yang akhirnya bisa menuntunnya untuk mencapai cita-cita yang diharapkan.
Terima kasih
The End

                                                                                                                 

Hanya Sebatas Mimpi di Kertas

Hanya Sebatas Impian di Kertas

Angin bertiup menyapu hari yang redup, langit nampak muram menahan beban. Setumpuk kertas yang berserakan di kamar membuat suasana semakin tak menentu. Fikiran berkecampuk tak karuan membuat kepala serasa mau pecah menahan beban hidup yang terasa sangat berat untuk dijalani. Terkadang hidup ini tak semudah yang aku bayangkan selama ini. Sempat aku berfikir Tuhan memang tak adil padaku, aku merasa, aku adalah orang yang paling susah dinegeri ini. Tetapi ketika teringat seorang kakek renta berambut putih yang menggunakan tongkatnya untuk berjalan. Hatiku seperti terketuk ketika beliau berpesan kepadaku “Jangan pernah menyesali nasib, karena masih banyak hal yang sesungguhnya perlu disyukuri”. Saat mendengar ucapan itu, perkataan itu bagai gemuruh petir yang menyambar-nyambar di dadaku. Menyesakkan sekali. Aku tersadar jika yang selama ini aku rasakan semuanya salah. “Benar yang dikatakan oleh kakek itu” sesalku dalam hati.
Untuk apa aku terus mengeluh tiada hasil. Lebih baik aku memikirkan apa yang telah aku miliki dan menyusun kehidupanku sebaik mungkin. Aku sadar kehidupanku mungkinlah masih tergolong lebih mudah dibandingkan dimana orang-orang kurang beruntung diluar sana. Namun terlepas dari itu banyak hal yang bisa aku syukuri dari kehidupanku.
          Aku berdo’a sembari bersujud
        “ya Allah, ampuni aku yang telah banyak menghujat-Mu. Ampuni aku yang telah banyak menuntut akan kehidupan ini, yang tak pernah puas akan yang telah Engkau berikan kepadaku sampai-sampai aku melalaikan untuk bersyukur kepada-Mu. Ampuni atas segala ke khilafan ini. Semata-mata hamba hanya mengharap ampunanmu. Meletakkan kepala bersujud dihadapanmu, dengan perasaan rendah dan hina dina ini. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui atas apa yang ada didepan dan dibelakang, maka tunjukanlah hamba jalan yang terbaik untuk hamba. Bantulah hamba dalam mencapai cita-cita hamba. Dan bantulah hamba dalam meraih kebahagian hidup hamba di dunia dan akherat. Bimbing hamba ya Allah. Sesungguhnya Engkau Maha Pengasih dan Maha Penyayang.”
Tanpa sadar mataku mulai meneteskan air dari sudut mata yang tipis, saat aku bangun dan duduk bersimpuh ditengah guratan kertas yang masih tercecer berantakan. Kemudian aku duduk bersila, aku menarik nafas dalam-dalam, mengisi paru-paru dengan udara untuk menguatkan diri. Pelan-pelan, aku hembuskan nafas, bagai membuang beban. Mulut dan hatiku tak henti mengucap istighfar. Nama Allah aku lafadzkan semampu bibir dan hati mengucapkan.[]
Dari awal aku telah terlahir ke dunia dengan berteman sepi. Tiada hari yang menyenangkan yang pernah aku lalui. Bagiku, dunia ini terlalu kejam. Sangat sepi untuk kehidupanku. Entah kenapa sebenarnya. Ini bukan semata-mata karena aku tidak mempunyai teman bermain, keluarga, atau orang lain. Akan tetapi yang menjadi penyebabnya ialah cara hidup yang aku lakoni sedikit berbeda dengan kebanyakan orang pada umumnya. Bukan juga berarti saya ini seorang autis, indigo atau orang yang mempunyai kelainan mental. Namun terlepas dari hal itu, aku memang tidak sedikit menyukai hal keramaian apalagi yang berbau foya-foya yang tidak menimbulkan manfaat. Aku lebih suka menyendiri untuk menulis di lembaran kertas. Lembaran demi lembaran aku isi dengan coretan tinta untuk mengisi dunia yang sepi ini. Aku memang tidak banyak mempunyai teman karena aku sendiri tidak pandai bersosialisasi, mungkin ini adalah salah satu kelemahanku. Tapi itu semua aku jalani dengan perasaan senang dan mengalir. Ya seperti inilah karakterku. Aku tidak menyukai keramaian karena aku punya mimpi. Mimpi menjadi seorang penulis terkenal. Terkadang aku sempat bertanya pada diriku sendiri apakah hidup yang aku pilih ini benar?. Menghindari orang lain hanya untuk merenung, menggagas ide untuk menulis sebuah cerita maupun puisi. Hanya ketenangan dalam hidup yang aku cari. Bukan uang, bukan barang atau yang lainnya. Aku hanya ingin menjadi seorang penulis karena itu adalah mimpiku. Mimpi yang harus aku kejar dan harus aku wujudkan. Ya ini diriku dan inilah aku apa adanya yang mungkin dipandang aneh oleh banyak orang.
“tok . .tok. . .tok. . . “suara ketukan pintu menghancurkan lamunanku
“siapa ya ?”
“ini ibu nak, ayo makan dulu”
“iya bu, sebentar” akupun bergegas mengemasi kertas yang tercecer dan bergegas menuju ruang makan.

Saat sedang menyantap hidangan lamunanku kembali menghampiri fikiran. Lagi-lagi teringat akan kehidupanku yang aku sendiri tak tentu mau kemana, padahal aku sendiri sudah bertekat ingin menjadi seorang penulis. Namun lagi-lagi keragu-raguan datang silih berganti. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Rene Descartes bahwasanya manusia ialah tempatnya keragu-raguan.
Aku jadi teringat akan waktu itu. Ya hari itu tepat hari selasa ketika aku pulang dari sekolah. Hari itu hatiku seperti terbakar api neraka saat aku masuk kamar. aku menyaksikan hal yang selama ini aku khawatirkan. Semua hasil karya tulisanku berantakan. Berantakan bukan karena terkena angin atau karena ulahku yang sedang ingin membaca-baca ulang semua tulisanku. Tetapi ini hal yang sangat menyakitkan. Hasilku semua disobek-sobek, entah siapa yang telah melakukannya. Aku merasa sangat terpukul karena begitu antusiasnya aku ingin menjadi seorang penulis. Semua kertas itu ialah hasil buah fikirku selama ini, segala perasaan dan curahan hati juga aku tuangkan semuanya didalam selembar kertas. Hingga berlembar kertas terpenuhi oleh goresan tinta hitam.
Aku mencoba mencari tahu siapa yang telah menyobek karya-karyaku. Akupun mulai bertanya sama ibu. Dan ternyata benar dugaanku, bahwa ayahlah yang telah melakukannya. Ayah memang tidak pernah setuju kalau aku menjadi seorang penulis. Beliau selalu menyuruhku menuruti kemauannya. Dia selalu ingin aku menjadi seorang pengusaha yang sukses. Tapi aku tidak pernah setuju akan pilihan dia. Karena ini adalah mimpiku. Ini hidupku. Sudah seharusnya aku yang menentukan masa depanku sendiri bukan lagi ayah atau siapapun. Cukup semua sudah diatur olehnya, memang ayah terlalu diktator terhadap semua anaknya. Ahh entahlah semua ini semakin membuatku bingung.[]
          Aku sadar aku memang tidak pantas mendapatkan semua itu. Ayah yang tidak pernah setuju akan mimpi-mimpiku tapi aku tidak akan pernah menyerah untuk mewujudkan mimpi ini. Ya seperti inilah kehidupanku yang selalu diselimuti dengan kesepian. Akan tetapi aku masih punya dua teman. Teman yang selalu mendukungku disaat semua orang mulai menjauhiku. Dan mereka berdualah yang selalu menemani dikesendirianku tanpa rasa lelah dan mengeluh. Membaca dan  menulis memang hal yang tidak bisa terlepas dari kehidupanku, karena hanya dengan  dua hal itulah aku dapat mencurahkan segenap perasaan yang ada didalam hati maupun fikiran, hanya untuk mengusir kesepian yang menjangkit dan menggerogoti tubuh ini. Memang sejak kecil aku telah memulai kehidupan dan tumbuh dengan berteman sepi. Dan hal itu sempat membuatku merasa tertekan dan membuat frustasi. Akan tetapi seiring berjalannya waktu aku mulai menemukan jati diri. Lagi-lagi mereka berdualah yang menjadi teman luar biasa yang dapat merubah hidupku menjadi lebih berwarna dan semangat. Mereka lain daripada teman yang lain mereka selalu ada saat aku membutuhkannya, bahkan disetiap tidurkupun mereka selalu menemani dan menjaga tidurku. Hingga suatu saat aku menyebutnya sebagai best friend karena hanya mereka berdualah yang selalu menemaniku dikala aku dirundung kesepian. Aku tak pernah merasa curiga ataupun sangsi terhadap mereka karena aku sudah menganggapnya sebagai bagian dalam hidupku. Mungkin inilah yang akan yang akan memberi semangat yang akan menghantarkan diriku menjadi penulis terkenal. Dan mungkin ini terlalu berlebihan adanya, namun hal ini merupakan sesuatu yang sangat luar biasa bagi hidupku karena selama hidupku mereka telah menjadi seorang figur untukku. Walaupun kenyataannya mereka itu tak pernah hidup dan hanya berwujud benda, namun entah mengapa rasa ini melebihi pertemanan dengan sesama manusia. Tapi kenyataannya mereka berdualah yang telah menghantarkanku menjadi seorang penulis terkenal, karena kesungguhan yang aku miliki yang akhirnya dapat menolong diriku sendiri.[]
Jika perjalanan hidup adalah setelah mimpi tercapai, maka apakah aku sudah tiba diujung perjalanan. Mimpiku itu seandainya menjadi seorang penulis, tak jauh berbeda dengan mimpi orang-orang diluar sana. Bedanya hanya sejauh mana sepenuh daya untuk berusaha meraih mimpi itu dan tak terhenti sampai benar-benar meraihnya. Manakala mimpi itu sudah ku penuhi, anehnya, aku merasa ini bukan akhir  dari keinginan yang hendak aku penuhi. Kini aku menatap langit ada sesuatu yang jauh lebih kuinginkan. Ya, kasih sayang. Demikianlah, hari itu aku menyadari bahwa menjadi seorang penulis bukanlah cita-cita atau mimpi besar yang sebenarnya bagiku. Tetapi, aku belum tahu apa cita-cita atau mimpi yang lebih besar dari menjadi seorang penulis yang terkenal. Inilah kehidupan. Kehidupan yang terus berputar. Tak pernah pandang bulu menggulung semua makhluk penghuninya. Tentunya hanya bisa bersyukur tanpa harus mengeluh.

“jadilah seperti apa yang kau inginkan”


SATU CINTA SATU LIANG LAHAT

Satu Cinta Satu Liang Lahat
@MKRidwan
M Kholil Ridwan

Aku adalah mahasiswa semester 5 di Perguruan Tinggi STAIN Salatiga, sebut saja aku Rizwar. Aku tinggal disebuah tempat kos kecil di Kembang Arum, karena rumahku ada di pulau Sumatra tepatnya di Provinsi Lampung, Kabupaten Tanggamus, Kecamatan Sumberejo di desa Argomulyo. Aku memang tidak keren-keren amat tapi aku agak heran karena kenapa di kampus tidak sedikit gadis yang menyukaiku. Akan tetapi anehnya aku pun tidak mempunyai seorang pacar, itulah kenapa aku sering dikatain si kutu buku yang anti cewe. Karena aku selalu menyibukan diriku dengan membaca buku dan menulis, sehingga sampai tidak ada waktu untuk mencari seorang kekasih. Pernah sempat ditanya sama teman sekelasku
            “Eh Rizwar, kamu itu banyak fansnya tapi kok gak punya pacar?”
            “aku lagi kepengen serius buat kuliah dulu”, jawabku sambil tersenyum.
Memang dari awal masuk kuliah aku sudah berjanji untuk tidak pacaran terlebih dahulu karena aku takut kuliah ku terganggu, karena aku telah berjanji kepada kedua orang tua agar tidak mengecewakan mereka dan jadi kebanggaan keluarga. Memang pada dasarnya aku terlahir dari keluarga sederhana, dan menjadi seorang mahasiswa adalah hal yang sangat luar biasa bagi keluarga kami. Aku pun bisa kuliah lantaran dapat beasiswa, jadi orang tuaku tidak terlalu berat menanggung baiaya perkuliahan.
Seiring bergulirnya waktu ternyata aku mulai dihinggapi rasa kesepian karena tidak mempunyai pacar, saat dimana teman-temanku pergi semua dengan pacarnya masing-masing. Namun aku selalu menyembunyikan kesepianku itu dengan cara membaca buku dan menulis. Hanya itu yang bisa kulakukan untuk mengisi kehidupanku sehari-hari. Sampai aku menginjak semester 7 aku mulai memberanikan diri untuk mencari seorang pacar. Tapi ternyata tak semudah yang aku kira, walau begitu banyak yang mengagumiku tetapi tidak ada yang cocok dengan hati ini. Kejadian inipun berlangsung hingga aku wisuda. Keirian didalam hatipun mulai bertambah ketika melihat teman-temanku merayakan keberhasilannya dengan didampingi oleh kekasih dan orang tuanya, sedangkan aku hanya didampingi oleh pamanku, karena orang tuaku tidak bisa datang karena kendala biaya transport. Aku berbisik dalam hatiku
   “Yah. . . sungguh lengkap penderitaanku, saat di mana aku bahagia tetapi tidak didampingi oleh orang-orang yang aku sayangi”
Tapi aku sadar jika ini yang terbaik untukku, ini adalah rencana Tuhan yang terbaik untukku suatu saat nanti. Bagiku ini adalah awal di mana aku harus belajar untuk hidup, di mana aku harus mengatur hidupku sendiri, menentukan pilihanku sendiri karena aku kini telah menjadi seorang sarjana dan tak pantas lagi untuk merengek kepada orang tua.
Tiba di mana aku telah mendapatkan pekerjaan menjadi seorang pengajar disalah satu SMA di kota Salatiga, dimana kini aku telah berusia 24 tahun usia di mana seorang lelaki telah pantas untuk mempunyai seorang kekasih ataupun pendamping hidup. Di dalam keseharianku mengajar di SMA N 1 Salatiga sedikit menghilangkan kesepianku tanpa seorang kekasih karena bisa berbaur dengan para siswa-siswi di sana. Akan tetapi kebahagiaanku belum akan lengkap tanpa hadirnya sesosok gadis yang aku sayangi. Disela kesibukanku itupun aku menyempatkan diri untuk berusaha mencari pasangan hidup. Namun apa kenyataanya Tuhan berkata lain, Dia belum menghadirkanku seorang pendamping hidup. Saat usiaku menginjak 25 tahun aku semakin gelisah akan hal ini karena sampai dengan usia seperti ini aku belum mempunyai seorang istri, jangankan istri pacarpun aku tak mempunyainya. Fikiran di otakku hanya ada pertanyaan-pertanyaan bagaimana aku bisa mempunyai seorang pacar untuk aku nikahi. Saat itupun di mana aku memutuskan untuk berhenti mengajar di sekolah dan pulang ke Lampung untuk kembali kerumah kedua orang tua dan berniat untuk mencari pekerjaan di sana. Setelah selesai mengajukan surat pengunduran diri kepada pihak sekolah, aku bergegas pulang untuk mengemasi barang-barang ditempat tinggalku. Dan tak lupa aku berpamitan kepada teman-temanku yang selama ini menemaniku berjuang di bangku perkuliahan.
“teman-teman, aku berencana untuk pulang ke Lampung, aku ingin menengok keluarga yang di sana, dan mungkin aku tidak akan kembali lagi kesini, aku tidak akan melupakan kalian semua”
“Rizwar, kami pasti tidak akan melupakanmu juga, dan kami masih berharap suatu saat nanti kita dapat bertemu lagi, kita adalah teman sejati, teman akan selamanya teman, berhati-hatilah di jalan kami mendoakanmu” jawab mereka dengan wajah bersedih.
“terima kasih” jawabku sambil melambaikan tangan. .
Dan aku pun pergi meninggalkan teman-temanku, terbersit rasa kesedihan yang mendalam saat harus berpisah dengan teman-temanku, tapi inilah keputusan yang telah aku buat untuk pindah ke Lampung demi menemukan seorang pendamping hidup seperti yang tergambarkan di dalam mimpiku. Semoga apa yang aku cari selama ini bisa aku temukan di sana nanti.
Setelah menempuh perjalanan selama dua hari dua malam aku telah sampai di Lampung, dan bertemu keluargaku di sana dan tentunya bertemu dengan kedua orang tuaku yang telah lama aku rindukan. Setelah beberapa hari di sana akupun meminta izin kepada orang tua untuk bekerja di kota, dan akhirnya aku berangkat menuju ke kota Bandar Lampung. Aku yang sebelumnya telah mendaftar menjadi dosen di sebuah perguruan tinggi swasta yang bernama Universitas Bandar Lampung (UBL) dan telah diterima untuk mengajar di sana. Hari-hari pun berganti dengan suasana yang berbeda, di mana aku harus mengajar seorang mahasiswa. Dihari pertama akau masuk untuk mulai mengajar aku teringat lagi akan mimpi waktu itu
“ahh. .mungkin ini hanya halusinasiku saja, sudahlah lupakan !!” kataku didalam hati.
Akupun melanjutkan perjalanan karena hari ini adalah pertama kalinya aku mengajar di sini, rasa gugup masih menghinggapi diriku akan tetapi seiring berjalannya waktu aku sudah mulai terbiasa akan kehidupan di sini. Akupun mulai memasuki kelas, kelas yang pertama aku masuki adalah kelas A1 mahasiswa semester 5. Ini adalah kali pertama aku masuk ke kelas ini sehingga semuanya tampak asing, tetapi ada satu hal yang membuatku terperangai dan sepertinya sudah tidak asing lagi bagiku. Ya seorang gadis yang duduk disebelah kanan kursi nomor dua, seperti sudah pernah bertemunya tapi aku agak lupa. Setelah sesaat mengingat-ingat ternyata tidak salah lagi gadis itu adalah gadis dalam mimpiku dia bermuka cantik, hidung mancung, bibir tipis dan punya dua lesung pipi yang mungil. Sempat aku berbisik
            “apa benar ini gadis yang ada didalam mimpiku waktu itu, jika benar dia aku sungguh beruntung, Tuhan dia kah yang akan menjadi pendampingku?”
Seketika itu lamunanku terhenti akibat suara gaduh dari para mahasiswa, dan akupun memulai pelajaran hari itu. Setelah selesai proses mengajar kami semua keluar dari ruangan, dan mataku mencoba mencari gadis yang tadi. Dengan santai akupun mendekati gadis itu dan bermaksut untuk berkenalan dengannya
            “hai. . .nama kamu siapa?”
            “nama aku Intan, ada apa ya?” dengan gugupnya
            “Intan ya, kenalin namaku Rizwar aku dosen baru di sini”
Sepertinya Intan pun telah tertarik denganku saat pandangan pertama. Intan adalah anak seorang pengusaha kaya raya, ayahnya cukup berpengaruh di Lembaga ini. Akan tetapi Intan adalah gadis yang baik hati dan tidak sombong walaupun orang tuanya seorang yang kaya raya, inilah alasannya yang membuat aku menyukainya. Kemudian selang beberapa hari kami pun mencoba untuk saling mengenal satu sama lain, dan akupun merasakan kenyamanan saat didekatnya. Hari-hari terus berlalu diiringi dengan semakin dekatnya kami berdua bak seorang kekasih, dan kami diam-diam sering membuat janji untuk bertemu sehabis pulang kuliah, kejadian inipun berlangsung hingga beberapa bulan sampai akhirnya kami resmi berpacaran tanpa sepengetahuan oleh mahasiswa lainnya. Akan tetapi kami tak lagi mampu menyembunyikan kemesraan di antara kami, dan ternyata dari kalangan mahasiswa telah banyak yang mengetahuinya. Itu semua membuat kami canggung saat proses perkuliahan berlangsung. Pada akhirnya tak terasa satu tahun telah berjalan dan melewati lika-liku cinta kami, hingga pada akhirnya kami memutuskan untuk segera menikah setelah Intan lulus kuliah di mana sekarang dia sudah menginjak semester akhir. Sambil menunggu Intan wisuda akupun tak bersantai-santai begitu saja, justru aku harus memutar otak seratus delapan puluh derajat untuk memikirkan hal yang harus aku lakukan untuk pernikahanku nantinya supaya semuanya lancar. Dan tak lupa akupun mulai  menabung untuk kebutuhan finansial kami dan juga sebagai biaya pernikahan dan membelikan cincin perkawinan untuk Intan. Ini semua aku persiapkan untuk dia, untuk memberikan kejutan kepadanya karena betapa aku sangat mencintainya.
Setelah Intan di wisuda kami pun berencana untuk meminta restu kepada orang tua kami, dan mula-mula Intan aku ajak pergi ke rumahku untuk bertemu keluargaku di desa. Bahwasanya Intan pun telah mengetahui bahwa aku hanyalah anak kampung dari keluarga yang sederhana akan tetapi Intan tak sedikitpun menyoalkan akan hal itu, karena dia menganggap cinta tak pernah memandang harta dan tahta karena dia benar-benar mencintaiku apa adanya. Setelah sampai di rumahku kami pun langsung berterus terang apa maksud dan tujuan kami berkunjung kerumah, akupun mengawali pembicaraan itu
“bu. .pak. . ini Intan pacar Rizwar, kami kesini bermaksud untuk meminta restu dari ibu dan bapak bahwa kami ingin menikah secepatnya”
Seketika suasan menjadi tegang saat bapak menegapkan badannya. Bapak memang bersifat keras, tegas dan tidak suka basa-basi.
            “kamu mau menikah le? , apa kamu sudah siap?” tanya bapak.
            “saya sudah siap pak, saya kan sudah berusia 27 tahun”
            “ini bukan soal usia le, membangun sebuah rumah tangga itu tidaklah mudah, apa kamu sudah punya penghasilan yang menetap untuk menghidupi anak dan istrimu nanti?”
Bapak terlihat menasehatiku dan seakan aku memang belum siap untuk menikah, akan tetapi ini sudah menjadi tekadku untuk segera menikah dan punya momongan. Aku berfikir aku telah siap untuk membangun keluarga yang bahagia toh aku juga sudah menabung untuk kebutuhan kami setelah menikah.
            “tapi pak, aku sudah punya tabungan untuk pernikahan kami dan aku juga sudah merencanakan jauh hari untuk pernikahan kami ini” jawabku dengan perasaan yakin.
Mereka berduapun akhirnya memberikan restu
            “ya sudah le kalau itu sudah menjadi keputusan kamu, bapak sama ibu cuma bisa mendo’akan semoga kalian menjadi keluarga sakinah mawadah warohmah, amiin”
Perasaan ini terasa sangat bahagia saat di mana bapak memberikan restu kepada kami untuk menikah. Akan tetapi ibu memotong lamunanku
            “le apa kamu sudah meminta restu kepada orang tua Intan?”
Jantungku berdetak kencang dan kepalaku seperti disambar petir saat ibu menanyakan hal itu, karena dari awal aku merasa takut untuk menemui orang tua Intan karena ayahnya Intan terkenal orang yang tempramen dan angkuh, ini sangat jauh berbeda dengan sifat Intan yang sangat baik hati dan lemah lembut. Aku pun memberanikan diri untuk menjawab pertanyaan ibu
            “gini bu, rencana kami setelah meminta restu kepada ibu dan bapak kami baru meminta restu kepada orang tua Intan” jawabku dengan rasa gugup.
            “ya sudah, nanti hati-hati di jalan dan jangan lupa jangan pernah kecewain ibu dan bapakmu dan ingat satu hal lagi le, kamu tidak boleh menyia-nyiakan istrimu nanti” pesan ibu kepadaku.
Setelah selesai kami pun memutuskan untuk kembali ke kota untuk pergi kerumah Intan guna meminta restu kepada orang tuanya. Sesaat kami telah sampai di rumah Intan. Perasaan gugup dan takut mulai menyelimuti diriku, perasaan seperti ini belum pernah aku rasakan sebelumnya badanku panas dingin dan kaku saat menatap rumah Intan yang sangat mewah dan besar. Tentu hal ini mengucilkan diriku dan betapa diriku ini begitu rendah dihadapan keluarga Intan, perasaan ini bertambah saat kami mulai memasuki rumah Intan lewat dua pintu yang besar dan kokoh itu. Aku merasa mau lari terbirit-birit karena aku sangat takut akan hal ini, apalagi aku kesini untuk meminta restu untuk menikahi anaknya.
            Saat kami telah memasuki rumah Intan, Intan pun bergegas menemui orang tuanya. Intan bermaksut memberi tahukan kepada mereka bahwa ada seseorang yang ingin bertemu dengannya. Setelah sejenak aku duduk di kursi mereka akhirnya datang untuk menemuiku. Perasaan takut dan gugup tentunya makin bertambah saat pertama kalinya aku bertemu dengan orang tua Intan.
            “Intan, dia siapa?” tanya ibunya
            “dia pacarku bu”
Setelah suasana sedikit tenang kami pun memulai pembicaraan, untuk membicarakan apa maksudku silaturrahim kerumah Intan.
            “maaf pak, bu nama saya Rizwar saya datang kesini berniat untuk silaturrahim kepada bapak dan ibu”
Sepertinya mereka tidak menjawab akan hal ini, aku pun bermaksut untuk langsung berterus terang kepada beliau bahwa aku ingin menikahi putri semata wayangnya.
            “maaf pak, buk sebelumnya saya kesini ingin meminta restu kepada bapak dan ibu”
            “restu apa?” ayah Intan menjawab dengan mata melotot
Aku merasa gugup saat menatap wajah ayah Intan yang sepertinya beliau tidak menyukaiku.
            “ee. .ee kami bermaksut untuk menikah bulan depan”
            “Apa !!! kamu mau menikahi anak saya?” bentak ayah Intan
            “iya pak, kami sudah pacaran selama dua tahun dan kami sudah sepakat untuk menikah bulan depan”
            “punya apa kamu mau menikahi anak saya? Apapun yang terjadi saya tidak akan menyetujui hal ini, karena Intan sudah punya calon suami.”
Perasaanku seperti tercabik-cabik saat mendengar perkataan dari ayah Intan. Seketika itu badanku menjadi lemas tak berdaya dan aku memutuskan untuk pulang ke kampung, sementara itu Intan beberapa kali meminta persetujuan dari orang tuanya, karena pada dasarnya Intan tidak mencintai lelaki pilihan ayahnya. Setelah beberapa kali Intan memaksa ayahnya, akan tetapi tetap tidak ada hasilnya dan akhirnya dia memutuskan untuk menyusulku ke desa tanpa sepengetahuan orang tuanya.
            Dan setelah Intan bertemu denganku dia mengatakan kalau hanya ingin menikah denganku, begitupun denganku yang sudah terlanjur mencintainya. Entah setan apa yang telah membisikan hal buruk kepada kami sehingga mempunyai fikiran untuk kawin lari dan setelah itu kami berencana untuk bunuh diri, karena kami tahu pernikahan tanpa restu orang tua tidak akan pernah bahagia. Tibalah di mana kami pergi ke KUA meminta pak pengulu untuk menikahkan kami, dengan hal inipun kami harus membayar orang untuk menjadi wali agar pernikahan kami bisa terlaksana. Proses pernikahan pun telah berlangsung kemudian kami berniat untuk melakukan bunuh diri bersama, namun sebelum kami bunuh diri kami menulis sepucuk surat
            “siapapun yang menemukan mayat kami, ini permintaan kami yang terakhir, tolong kuburkan jenazah kami pada satu liang lahat”
Begitulah kami menuliskan surat wasiat yang menjadi kesepakan kami berdua. Setelah menggenggam surat di kepalan tangan kiriku kami langsung melakukan bunuh diri dengan cara meminum racun. Dan seketika itu perasaan pusing dan dunia semakin gelap, gelap dan gelap dan akhirnya aku sudah tak sadarkan diri lagi begitupun dengan Intan, tangan kami saling bergandengan untuk membuktikan cinta sejati yang kami miliki.
The End


            Nama saya adalah M Kholil Ridwan dan saya seorang mahasiswa di STAIN Salatiga, aku tinggal di kos Jl. Nakula Sadewa No.3, Kembang Arum, Sidomukti, Salatiga, 50721 . saya lahir di Argopeni, 26 Juni 1994. Dan golongan darah saya (O).