Translate

Sabtu, 09 April 2016

METODOLOGI PENULISAN KITAB HADIS; Studi atas Musnad Ahmad Ibn Hanbal

Perjalanan sejarah umat Islam selalu ditengarai dengan dinamika kehidupan sosial-politik. Realitas semacam inilah yang pernah menyebabkan kemunculan berbagai hadis-hadis palsu untuk membela kepentingan kelompok. Kenyataan inilah yang menjadi daya tarik para kaum orientalis dalam mengkritisi kesejarahan hadis-hadis yang telah terkodifikasi di dalam kitab-kitab hadis kanonik. Para orientalis dengan nalar skeptisme, yang berangkat dari gejolak dinamika sosial-politik umat Islam dahulu, berusaha mempertanyakan kembali otentisitas sebuah hadis. Hingga dimulai oleh Ignaz Goldziher pada permulaan abad XIX dan XX, mulai meragukan valisitas sebuah hadis. Diteruskan oleh Josep Schacht, dan Juynboll, para orientalis berusaha menciptakan teori baru dalam mengkaji sebuah hadis. Teori-teori ini dikembangkan melalui sudut pandang dan orientasi yang berbeda dari kalangan umat Islam. Hal inilah yang menyebabkan teori-teori para kaum orientalis banyak ditolak dan dikritisi oleh para sarjana Muslim. Namun sebagai seorang akademisi yang berkecimpung dalam dunia penelitian, tidak seharusnya menolak secara a priori ataupun menerimanya secara taken for granted.  Justru yang harus dilakukan adalah membangun dan menciptakan teori-teori yang dapat menjamin tingkat validitas, reliabilitas, dan akseptabilitas suatu hadis.[1]



[1]   Wahyuni Eka Putri, dalam Kurdi, dkk., Hermeneutika Al-Quran dan Hadis, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010), hlm. 330.

Refleksi Kepemimpinan Wanita dalam Al-Quran

Indonesia merupakan negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia. Dewasa ini wacana kesetaraan gender semakin menguat. Doktrin tentang larangan seorang wanita menjadi pemimpin, menjadi fakta menarik di lapangan. Munculnya beberapa pemimpin wanita baru-baru ini, menunjukan kesadaran masyarakat tentang arti kesetaraan gender. Bahkan dimungkinkan masyarakat mulai lelah (kecewa) dengan gaya kepemimpinan kaum laki-laki. Wacana ini mulai berkembang dari tingkatan regional, nasional, bahkan internasional yang membicarakan suksesi kepemimpinan kaum wanita. Meskipun wacana ini sempat booming, ketika Megawati Seokarno Putri menggantikan Abdurrahman Wahid (Gusdur) sebagai presiden. Kejadian ini tidak terlepas dari berbagai perdebatan di kalangan ulama. Setidaknya terdapat tiga pandangan yang berkembang yaitu, pihak yang menolak secara total kepemimpinan wanita, sebagian lain menerima dengan syarat, dan di pihak lain menerima secara keseluruhan.