Perjalanan sejarah umat Islam selalu
ditengarai dengan dinamika kehidupan sosial-politik. Realitas semacam inilah
yang pernah menyebabkan kemunculan berbagai hadis-hadis palsu untuk membela
kepentingan kelompok. Kenyataan inilah yang menjadi daya tarik para kaum
orientalis dalam mengkritisi kesejarahan hadis-hadis yang telah terkodifikasi
di dalam kitab-kitab hadis kanonik. Para orientalis dengan nalar skeptisme,
yang berangkat dari gejolak dinamika sosial-politik umat Islam dahulu, berusaha
mempertanyakan kembali otentisitas sebuah hadis. Hingga dimulai oleh Ignaz
Goldziher pada permulaan abad XIX dan XX, mulai meragukan valisitas sebuah
hadis. Diteruskan oleh Josep Schacht, dan Juynboll, para orientalis berusaha
menciptakan teori baru dalam mengkaji sebuah hadis. Teori-teori ini
dikembangkan melalui sudut pandang dan orientasi yang berbeda dari kalangan umat
Islam. Hal inilah yang menyebabkan teori-teori para kaum orientalis banyak
ditolak dan dikritisi oleh para sarjana Muslim. Namun sebagai seorang akademisi
yang berkecimpung dalam dunia penelitian, tidak seharusnya menolak secara a
priori ataupun menerimanya secara taken for granted. Justru yang harus dilakukan adalah membangun
dan menciptakan teori-teori yang dapat menjamin tingkat validitas,
reliabilitas, dan akseptabilitas suatu hadis.[1]
[1] Wahyuni Eka Putri, dalam Kurdi, dkk., Hermeneutika
Al-Quran dan Hadis, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010), hlm. 330.