Translate

Minggu, 15 Maret 2015

MENAKAR KEMBALI NILAI KEPERAWANAN PEREMPUAN Oleh: MK Ridwan

MENAKAR KEMBALI NILAI KEPERAWANAN PEREMPUAN
Oleh: MK Ridwan
Perempuan adalah makhluk Tuhan yang diciptakan dengan segala kelebihan dan kemuliaannya. Bukan itu saja, bahkan jika perempuan berhasil menjadi seorang ibu derajatnya akan tiga kali lipat di atas kaum bapak. Akan tetapi, perempuan rentan akan noda sosial. Kesalahan dalam melangkah akan justru menghilangkan kelebihan dan kemuliaannya digantikan dengan kehinaan. Sejarah mencatat bahwa kaum wanita, memang selalu tersubordinasikan dari kaum laki-laki. Perempuan sering diperlakukan tidak wajar, bahkan tidak dianggap layaknya manusia.
Hal itu bisa saja terjadi akibat seorang perempuan terlalu mengagung-agungkan atau mendewakan keperawanannya. Justru melupakan moral jati dirinya. Kaum perempuan menganggap bahwa menjaga keperawan jauh lebih terhormat ketimbang membina moral jati diri. Keperawanan seringkali dipahami secara sangat dangkal oleh sebagian masyarakat, dan kehilangan “keperawanan” (dalam pengertian biologis dan anatomis) telah dipandang sebagai hal menakutkan – lebih menakutkan dari kehilangan nilai-nilai moral itu sendiri.
Menurut Zulkarnain Abdullah dalam bukunya Mengapa Harus Perempuan menulis bahwa selembar selaput dara seakan-akan identik dengan sebuah kehormatan. Maksudnya, kehormatan itu telah diukur dan diberi harga dengan sesuatu yang bersifat material – dengan sebuah takaran anatomis. Tidak adanya bekas tetesan darah pada “malam pertama” di atas alas tidur akan sangat menggelisahkan sang pengantin perempuan dan keluarganya. Kejadian seperti ini seolah-olah merupakan hakikat dari sebuah aib besar, dan jangan tanya soal perilakunya sebelum perkawinan, karena keperawanan lebih dilihat sebagai paradigma nilai yang lebih penting dari realitas moral dalam keseluruhan sikap hidupnya sehari-hari.
Sepertinya penting juga dikemukakan apa sebenarnya keperawanan anatomis itu, berdasarkan ilmu kedokteran, simbol keperawanan adalah selaput dara yakni sebuah jaringan yang sangat halus dalam vagina, sehingga dapat terjadinya pendarahan saat melakukan hubungan seksual. Selaput lendir yang menghalangi lubang vagina ini berbeda-beda bentuk, potongan, dan ukurannya. Bisa jadi dalam beberapa kasus seperti yang diungkapkan oleh Albert H. Buck dalam bukunya A Reference Handbook of the Medical Science yang dikutip oleh Zulkarnain Abdullah, bahwa liang vagina tertutup sepenuhnya oleh selaput dara. Sebaliknya juga, selaput dara itu telah tidak ada lagi atau lenyap akibat aktivitas-aktivitas yang dilakukan pada masa kanak-kanak.

Sebuah bentuk keperawanan anatomis tentu tidak akan menjamin pribadi perempuan yang masih memiliki kesucian ataupun kehormatannya. Perempuan yang telah kehilangan keperawanannya pun masih mungkin memiliki kehormatan bahkan kesuciannya. Karena moral keperawanan tidak semata-mata hanya diukur oleh selaput lendir yang amat tipis. Murah sekali lantas kehormatan seorang perempuan jika hanya diukur dari segi anatomis. Zulkarnain Abdullah menambahkan bahwa keperawanan memang mempunyai nilai makna simbolik tersendiri. Keperawanan menyiratkan kesucian dan kesetiaan pada norma dan kemuliaan perilaku yang berkaitan dengan hubungan seksual. Akan tetapi, keperawanan tidak dapat dijadikan sebagai ukuran hakiki kehormatan seseorang dengan harga mati. Di sinilah kita perlu berhati-hati untuk tidak terlalu mensakralkan keperawanan dan tidak pula merendahkannya. Untuk itulah, sebuah moral bentuk keperawanan hendaknya diukur juga melalui cermin kehidupan sehari-hari. Perempuan yang masih mempunyai moral keperawanan (kehormatan) ialah dia yang memiliki kepribadian yang mulia, kejujuran, ketakwaan dan amanah, bukan diukur melalui ada atau tidaknya selaput dara yang menempel. Sebuah bentuk anatomis yang menipu.