Pergeseran-pergeseran yang terjadi
dalam dunia Qur’anic Studies, menggambarkan relativitas penafsiran teks
Al-Quran, ditambah dengan berbagai tuntutan situasi kontemporer yang dirasa
belum dialami oleh penafsir-penafsir klasik. Alasan inilah yang menyebabkan
Bint Syathi seorang mufasir perempuan pertama abad 20 menggeluti dunia tafsir
Al-Quran. Berbekal keilmuan sastra Arab, Bint Syathi mencoba mendekati
teks-teks Al-Quran dengan metode semantik. Bint Syathi menganggap bahwa setiap
bahasa memiliki kandungan keindahan di dalamnya, begitupun dengan Al-Quran.
Setiap bahasa memiliki keindahan sastra yang mewakili cita rasa yang tinggi,
asli, dan sempurna dalam seni tutur. Al-Quran menurutnya adlah kitab sastra
Arab terbesar dengan mukjizat bayan-nya abadi, dan gagasan-gagasannya
tinggi. Bagi seorang yang ingin mereguk cita rasanya, memahami perasaan dan
temperamennya, dan menyingkap rahasia-rahasianya bayan (penjelasan) dan
karakteristik ungkapannya, harus setia dalam memahami keindahan-keindahan
bahasa Al-Quran.[1]
Latar belakang pendidikan Bint Syathi
sangat mempengaruhi karakteristik kitab tafsirnya. Pendekatan yang digunakan
oleh Bint Syathi menunjukan kecintaannya terhadap cita rasa sebuah bahasa.
Menarik untuk menelisik lebih dalam karakteristik kitab tafsir Bint Syathi
sebagai langkah dalam mengenali metode yang digunakannya. Tulisan ini akan
melakukan kajian terhadap kitab Bint Syathi yang berjudul Al-Tafsîr
al-Bayânî li al-Qur’an al-Karîm. Pertanyaan umum dalam tulisan ini adalah
bagaimana karakteristik kitab tafsir tersebut.
[1] Aisyah Abdurrahman, Al-Tafsir Al-Bayani
Lil Qur’an Al-Karim; Juz Awwal, (Kairo: Dar Al-Ma’arif, cet. VII 1990),
hlm. 13.