MAKALAH
KONTEKSTUALISASI MAKNA JIHAD DI ERA KONTEMPORER:
REINTERPRETASI HADIST-HADIST TENTANG JIHAD
(Disusun sebagai tugas pengganti Ujian Akhir Semester
mata kuliah Hadist Sosial Politik yang dikumpulkan pada 30 Desember 2014)
Dosen pengampu:
Miftachur Rif’ah, M. Ag.
Disusun oleh:
MUHAMMAD KHOLIL RIDWAN
NIM: 215-13-003
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
SALATIGA
2014
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
.............................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
............................................................. 1
B. Rumusan Masalah ...................................................... 3
C. Tujuan
.......................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi Jihad ................................................................. 4
B. Pengungkapan Jihad di dalam Hadist
.......................... 6
C. Jihad Sebagai Ajaran Islam
.......................................... 10
D. Transformasi Jihad di Era Kontemporer
..................... 13
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................... 17
B. Saran
.............................................................................. 17
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Alquran yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi
Muhammad SAW merupakan petunjuk bagi umat manusia. Petunjuk Alquran yang
terdapat di dalam sejumlah ayatnya merupakan konsepsi dasar ajaran agama yang
harus diimplementasikan dalam kehidupan nyata. Salah satu ajaran agama Islam
yang langsung ditunjukan Allah melalui Alquran adalah ajaran tentang jihad.
Selanjutnya, ajaran ini cukup banyak mendapat respon dari hadis Rasulullah dan
ijtihad para ulama. Disiplin ilmu yang banyak terlibat dengan pembahasan ajaran
ini antara lain, ilmu fiqih, filsafat, dan tasawuf. Kesemuanya membahas tentang
jihad sesuai dengan kecenderungannya masing-masing (Rohimin, 2006: 2).
Jihad adalah istilah tipikal yang
merepresentasikan ambivalensi agama. Yang akan terus menjadi media perdebatan
dari berbagai kalangan, baik Muslim maupun non-Muslim. Oleh karena itu timbul
suatu permasalahan, dalam memaknai istilah jihad itu sendiri. Di mana jihad
banyak sekali pemaknaannya. Namun seringkali ditafsirkan hanya sebagai bentuk
kekerasan (violence), perang suci (holy war), bahkan bunuh diri
oleh kalangan radikalisme yang semuanya disebut jihad fi sabilillah. Tetapi
hukum Islam mengutuk semua bentuk peperangan yang tidak mempunyai kualifikasi
sebagai jihad, khususnya semua bentuk perang sesama Muslim. Karena perang
hanyalah sebagian kecil interpretasi dari konsep jihad. Jihad bisa berupa
perjuangan batin (untuk melawan kejahatan dari diri seseorang) atau perjuangan
lahiriah/eksternal (melawan ketidakadilan) (Baidhawy, 2012: 78).
Masalah jihad menduduki tempat teristimewa
dalam hukum Islam. Pada kenyataannya, sistem yang padu dan progresif belumlah
lengkap tanpa disertai ketetapan tersebut. Kekeliruan dalam menafsirkan akibat
kurangnya informasi, termasuk masalah jihad dalam agama Islam, telah
memunculkan propaganda berbau permusuhan yang sengit dan telah memberikan dalih
kepada musuh-musuh Islam untuk mengatakan bahwa Islam adalah agama pedang dan kekerasan (Al-Khu’i, 2003: 139).
Di era kontemporer wacana mengenai jihad
selalu dijadikan sebagai justifikasi dan tawaran legal untuk menyerang
orang-orang non-Muslim. Seruan agar berjihad dengan frase fi sabilillah
selalu didengungkan dalam peperangan meyerang orang-orang non-Muslim. Maka hal
ini cenderung dalam memahami jihad
sebagai perang. Karena jihad yang dikumandangkan umat Islam dalam
pertentangan kedua wilayah identik dengan perang atau dengan istilah jihad
fi sabilillah (Rohimin, 2006: 5).
Jihad merupakan terminologi Islam yang paling
banyak “dizalimi”. Ia sering dipersepsikan sebagai perang, padahal ia lebih
luas daripada sekedar perang. Persepsi inilah yang menjadi kiblat Imam Samudra
dan kawan-kawan yang mengartikan jihad secara sempit sebagai perang atau qital
untuk menegakkan Islam dan menyebarkan Islam kepada kaum kafir (Samudra, 2004:
108).
Menurut Azyumardi Azra, hampir bisa dipastikan
istilah jihad merupakan salah satu konsepsi Islam yang paling sering
disalahpahami, khususnya di kalangan para ahli dan pengamat Barat. Ketika
istilah ini disebut, citra yang muncul di kalangan Barat adalah laskar Muslim
yang menyerbu ke berbagai wilayah di Timur Tengah atau tempat-tempat lain;
memaksa orang-orang non-Muslim memeluk Islam. Begitu melekatnya citra ini,
sehingga, fakta dan argumen apapun yang dikemukakan pihak Muslim sulit diterima
masyarakat Barat (Azra, 1996: 127).
Memperhatikan wacana pemikiran Islam yang
telah banyak dikemukakan oleh para tokoh, maka substansi ajaran jihad sebagai
fenomena khas Islam semakin kompleks, baik pada tahapan konsepsional, maupun
implementasinya dalam kehidupan beragama. Pengertian, bentuk, objek, fungsi dan
tawaran jihad yang dikemukakan oleh para ahli berbeda-beda. Dalam kenyataan ini
maka jihad dalam perkembangan sejarahnya dari waktu ke waktu turut mengalami
pergeseran dan penekanan makna yang bervariasi (Rohimin, 2006: 10).
Sementara itu di dalam hadis, Nabi banyak
menganjurkan kaum muslim untuk berjihad, seperti berjihad dengan memerangi
kebodohan, kemiskinan, kezaliman, melakukan umrah dan haji, dan berjihad
melakukan perbuatan baik serta memelihara orang tua. Kesemua perintah jihad
tersebut, ditemukan berjihad dengan perjungan non fisik. Berdasarkan hadis Nabi
maupun al-Qur’an manusia dianjurkan untuk melakukan jihad (Sabir, 2012: Vol. 12
hlm. 255).
Melihat keberagaman mengenai interpretasi
makna jihad yang telah dikemukakan oleh banyak tokoh dan peragaannya dalam
kehidupan sehari-hari. Akan menarik jika dikaji ulang mengenai akar
permasalahan di dalam jihad. Untuk itulah penulis tertarik untuk melakukan
penulisan makalah dengan judul “KONTEKSTUALISASI MAKNA JIHAD DI ERA
KONTEMPORER: REINTERPRETASI HADIST-HADIST TENTANG JIHAD”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang pemikiran di atas, maka penulisan makalah ini
difokuskan kepada hal-hal berikut:
1. Bagaiamana jihad dimaknai sebagai bentuk kekerasan (violence)?
2. Bagaimana jihad dimaknai sebagai bentuk ajaran Islam?
3. Bagaimana implementasi makna jihad di era kontemporer?
C. Tujuan
Adapaun tujuan dari penulisan makalah ini
ialah:
1. Untuk mengetahui Bagaiamana jihad dimaknai sebagai bentuk kekerasan (violence).
2. Untuk mengetahui jihad dimaknai sebagai bentuk ajaran Islam.
3. Untuk mengetahui implementasi makna jihad di era kontemporer.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Jihad
Secara etimologi, jihad artinya berjuang atau
perjuangan yang dilakukan dengan sungguh-sungguh. Atau dengan kata lain jihad
adalah pengerahan segenap kekuatan, baik berupa perkataan maupun perbuatan
dalam peperangan (Ramdhun, 2002: 11).
Bentuk kata jihad, dalam bahasa Arab adalah sighat
(bentuk) masdar dari (جهد
– يجهد – جهدا و جهادا) yang berakar kata dengan huruf-huruf jim,
ha dan dal (Salenda, 2009: 131-132). Kata yang terdiri dari huruf
hijaiah ج – ﻫ – د dengan berbagai bentuk kata turunannya, sebagaimana
dinyatakan oleh Rohimin, di dalam Alquran kata ini terulang sebanyak 41 kali, 8
kali dalam ayat Makkiyah dan 33 kali dalam ayat Madaniyah pada 23 ayat.
Kemudian Rohimin mengungkapkan, seperti yang ia nukil dari Ibnu Faris
menjelaskan bahwa setiap kata yang berinisial huruf hijaiah ج – ﻫ – د pada dasarnya berarti kepayahan atau yang
semakna dengannya. Sedangkan menurut ar-Raghib al-Asfahani kata al-jihad
dan al-mujahadah berarti mencurahkan kemampuan dalam menghadapi musuh
(Rohimin, 2006: 16-17).
Sebagaimana dikutip Ramdhun dari Ibn
Al-Manzhur, kata jahd atau juhd artinya kekuatan, kekuasaan, atau
kesanggupan. Ia juga bisa berarti masyaqah (kesukara atau kesulitan).
Kata jahd sama dengan kata thaqah dan wus’ (kekuatan dan
kesanggupan). Kata jahada – yajhadu – jahdan, dan kata ijtahada, maknanya
sama dengan kata jada (bersungguh-sungguh) (Ramdhun, 2002: 12).
Kemudian, ketika kata jihad itu dikaitkan
dengan kata fi sabilillah, maka masuklah definisi terminologis. Menurut
definisi terminologis, jihad adalah memerangi kaum kafirin yang memerangi Islam
dalam rangka menegakkan kalimat Allah (Ramdhun, 2002: 12).
Sedangkan Kasjim Salenda (2009: 132)
berpendapat bahwa, jihad secara terminologi memiliki makna makro dan mikro.
Pengertian secara makro mencakup makna yang luas yang tidak semata-mata diartikan
perang dengan perjuangan fisik, tetapi juga mencakup non-fisik misalnya perang
melawan hawa nafsu. Adapun secara mikro, jihad diartikan peperangan saja. Selain
itu, penggunaan kata jihad di dalam Alquran selalu terkait dengan kata al-qital
(membunuh, melaknat, dan mengutuk), al-harb (perang), al-ghazw
(perang fisik), an-nafr (berangkat, pergi, mengalahkan, berpaling,
perasaan takut) (Rumandi, 2006: 22-32).
Di samping itu, mengutip perkataan Rohimin
(2006: 5) yang menyatakan bahwa, para ilmuan memiliki kecenderungan di dalam
pemikirannya dalam mengartikan jihad sesuai dengan dunia keilmuan yang
ditekuninya. Ini tergambar dari para ilmuan filsafat dalam mengartikan jihad
selalu dikaitkan dengan penegakan hukum Tuhan (syariah) yang berhubungan
dengan urusan politik kenegaraan. Hal ini berbeda dengan para ilmuan fiqih (fuqaha)
yang mengartikan jihad sebagai bentuk perang dalam memperluas wilayah kekuasaan
Islam (dar al-Islam). Sementara itu, dalam disiplin ilmu tasawuf
pengertian jihad lebih berorientasi pada perjuangan batin (mujahadah),
mengendalikan diri dan hawa nafsu yang selalu mengajak untuk melakukan
kejahatan dengan cara mendekatkan diri kepada Tuhan.
Berdasarkan beberapa definisi jihad yang telah
dikemukakan dapat disimpulkan bahwa istilah jihad mengandung makna yang
bervariasi, akan tetapi secara sederhana Kasjim Salenda (2009: 140)
mengelompokan jihad ke dalam dua kategori yakni jihad internal (al- jihad
al-akbar) merupakan perjuangan mengendalikan diri dari sifat-sifat negatif
dan perjuangan untuk peningkatan kualitas intelektualitas dan integritas
kepribadian individu dan masyarakat. Kemudian yang kedua, jihad eksternal (al-jihad
al-asghar) meliputi perjuangan dengan fisik di medan pertempuran.
Sekalipun jihad dapat dibagi menjadi beberapa
bagian (job), bukan berarti membuka kemungkinan bagi setiap muslim untuk
memilih berdasar pada kemauannya sendiri, tetapi semua bagian itu saling
mengikat dan berjalan secara integratif. Hal ini dikarenakan sifat jihad
bermakna kontekstual, berdasar pada suatu problematika yang ada. Sehingga
“entitas jihad” tidak dapat berdiri secara bebas, melainkan bergantung
sepenuhnya pada problematika tersebut (Suharsono, 2005: 241).
Jadi, dapat penulis simpulkan bahwa proses
interpretasi makna jihad seringkali terinfeksi dari berbagai macam kepentingan.
Baik kepentingan politik maupun kepentingan sosial. Walau pada hakikatnya
perintah jihad merupakan sebuah misi suci dari Allah SWT. Sehingga memiliki
bagian yang penting di dalam ajaran agama Islam. Hingga disebutkan bahwa
kesempurnaan iman seseorang tergantung pada jihad yang telah ia lakukan
meskipun jihad sendiri bervariasi dalam pemaknaannya.
B. Pengungkapan Jihad di dalam Hadist
Jihad merupakan ajaran Islam yang memiliki
kualifikasi tingkat tinggi. Karena pemaknaannya yang terbilang bervariasi dan
cenderung bertentangan dengan sifat Islam yang rahmatan lil alamin
mengakibatkan perlu mendapat perhatian khusus dalam mempelajarinya.
Pengungkapan perintah jihad serta keutamaannya dalam agama sebenarnya sudah
tertuang dengan lengkap di dalam hadis. Rasulullah SAW dengan jelas menerangkan
mengenai konsep jihad yang telah dituangkan oleh Allah di dalam Alquran secara
komprehensif. Perbedaan pemahaman dan penafsiran mengenai ayat-ayat jihad
menyebabkan pemahaman dan implementasi nilai-nilai dalam kehidupan
bermasyarakat.
Hadis merupakan sumber kedua Islam setelah
Alquran yang dijadikan rujukan dalam pengambilan hukum. Di dalam hadis terdapat
segala peraturan mengenai konsep jihad, seperti keutamaan jihad, manfaat jihad
dan objek jihad. Secara jelas mungkin telah diterangkan, namun dalam
pelaksanaannya menjadi sedikit sulit karena apa yang terjadi di masa sekarang,
tidak semuanya terjadi pada masa Nabi SAW. Di dalam bagian ini akan disebutkan
beberapa hadis yang menjadi landasan hukum jihad. Kemudian akan dikemas secara
ringkas dan sistematis agar dapat dipahami secara komprehensif sehingga dapat
menghantarkan pembaca dalam pemahaman yang utuh. Adapun hadis-hadis tentang
jihad adalah sebagai berikut:
1. Hadis Tentang Keutamaan Jihad
حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ صَبَّاحٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَابِقٍ
حَدَّثَنَا مَالِكُ بْنُ مِغْوَلٍ قَالَ سَمِعْتُ الْوَلِيدَ بْنَ الْعَيْزَارِ
ذَكَرَ عَنْ أَبِي عَمْرٍو الشَّيْبَانِيِّ قَالَ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ
مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ قَالَ
الصَّلَاةُ عَلَى مِيقَاتِهَا قُلْتُ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ ثُمَّ بِرُّ
الْوَالِدَيْنِ قُلْتُ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
فَسَكَتُّ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَوْ
اسْتَزَدْتُهُ لَزَادَنِي
“Telah bercerita kepada kami Al
Hasan bin Shobbah telah bercerita kepada kami Muhammad bin Sabiq telah
bercerita kepada kami Malik bin Mighwal berkata; aku mendengar Al Walid bin Al
'Ayzar menyebutkan dari Abu 'Amru Asy Syaibaniy berkata 'Abdullah bin Mas'ud
radliallahu 'anhu berkata: "Aku bertanya kepada Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam, aku katakan: "Wahai Rasulullah, amal apakah
yang paling utama?" Beliau menjawab: "Sholat pada waktunya".
Kemudian aku tanyakan lagi: "Kemudian apa?" Beliau menjawab:
"Kemudian berbakti kepada kedua orang tua". Lalu aku tanyakan lagi:
"Kemudian apa lagi?" Beliau menjawab: "Jihad di jalan
Allah". Maka aku berhenti menyakannya lagi kepada Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam. Seandainya aku tambah terus pertanyaan, Beliau pasti akan
menambah jawabannya kepadaku". (HR. Bukhari, No. 2574).
Telah jelas diterangkan di dalam hadis di atas bahwasanya
ajaran jihad merupakan amalan penting dalam Islam. sehingga hal inipun
mengundang pertanyaan mengenai apakah perempuan harus melakukan jihad di jalan
Allah. Karena jika ajaran jihad dimaknai dalam bentuk peperangan, tentu wanita di
dalam segi fisik kurang mendukung, walaupun dalam sebuah riwayat ada yang
mengatakan Aisyah r.a pernah memimpin perang jamal melawan tentara Ali bin Abi
Thalib. Maka berangkat dari permasalahan itulah penulis akan memberikan
mengenai status kaum wanita dalam melaksanakan jihad. Di dalam hadis yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Rasulullah bersabda:
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ
حَدَّثَنَا خَالِدٌ حَدَّثَنَا حَبِيبُ بْنُ أَبِي عَمْرَةَ عَنْ عَائِشَةَ بِنْتِ
طَلْحَةَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ يَا رَسُولَ
اللَّهِ تُرَى الْجِهَادَ أَفْضَلَ الْعَمَلِ أَفَلَا نُجَاهِدُ قَالَ لَكِنَّ
أَفْضَلَ الْجِهَادِ حَجٌّ مَبْرُورٌ
“Telah
bercerita kepada kami Musaddad telah bercerita kepada kami Khalid telah
bercerita kepada kami Habib bin Abu 'Amrah dari 'Aisyah binti Thalhah dari
'Aisyah radliallahu 'anha bahwa dia berkata: "Wahai
Rasulullah, engkau telah menjelaskan bahwa jihad adalah amal yang paling utama.
Apakah kami boleh berjihad?" Beliau bersabda: "Tidak. Tetapi jihad
yang paling utama (buat kaum wanita) adalah haji mabrur". (HR. Bukhari, No. 2576)
Berdasarkan hadis di atas, penulis berpendapat
bahwa sesungguhnya ajaran jihad merupakan ajaran yang utama di dalam Islam.
Sehingga Rasulullah meletakkan amalan ini diurutan ketiga setelah amalan sholat
dan berbakti kedua orang tua. Kemudian di dalam hadis yang kedua Rasulullah
memberikan tugas kepada kaum wanita untuk berjihad di jalan Allah akan tetapi
tidak melalui cara berperang, melainkan melaksanakan haji yang mabrur. Jadi
dapat disimpulkan bahwa ajaran jihad memiliki urgensi tersendiri, sehingga
pemaknaannya harus mendapatkan kawalan yang ketat, agar nantinya tidak akan
terjadi penyimpangan mengenai ajaran jihad itu sendiri. Karena telah jelas
disebutkan bahwa walaupun jihad memiliki keutamaan, akan tetapi jihad tidak
mutlak diartikan sebagai bentuk perang terhadap kaum kafir. Melainkan ada
cabang dalam melaksanakan jihad bagi kaum wanita yakni haji mabrur.
2. Hadis Tentang Perintah Melakukan Jihad
حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ
عَلِيٍّ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ قَالَ حَدَّثَنِي
مَنْصُورٌ عَنْ مُجَاهِدٍ عَنْ طَاوُسٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَوْمَ الْفَتْحِ
لَا هِجْرَةَ بَعْدَ الْفَتْحِ وَلَكِنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ وَإِذَا
اسْتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُوا
“Telah bercerita kepada kami 'Amru bin 'Ali
telah bercerita kepada kami Yahya bin Sa'id telah bercerita kepada kami Sufyan
berkata telah bercerita kepadaku Manshur dari Mujahid dari Thowus dari Ibnu
'Abbas radliallahu 'anhuma bahwa Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam bersabda pada hari penaklukan kota Makkah: "Tidak ada lagi hijrah
setelah kemenangan (Makkah) akan tetapi yang tetap ada adalah jihad dan niat.
Maka jika kalian diperintahkan berangkat berjihad, berangkatlah". (HR. Bukhari, No. 2613)
Dari Anas
bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Berjihadlah
melawan kaum musyrikin dengan hartamu, jiwamu dan lidahmu." (HR. Riwayat
Ahmad dan Nasa'i, No. 1281. Hadits
shahih menurut Hakim)
Dari uraian hadis di atas dapat penulis simpulkan bahwa perintah jihad
merupakan kewajiban atas setiap muslim. Akan tetapi jihad yang bagaimana dan
seperti apa itulah yang menjadi kecenderungan masing-masing. Karena pada
dasarnya jihad memiliki kualifikasi makna yang cukup beragam. Kendati begitu,
jihad harus direpresentasikan sesuai dengan sifat Islam yang rahmatan lil
alamin. Agar stigma terhadap Islam, tidak lagi pada agama kekerasan dan
agama pedang seperti yang telah dikemukakan oleh pihak Barat.
3.
Hadis Tentang Perintah Memerangi Kaum Yahudi
حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ
مُحَمَّدٍ الْفَرْوِيُّ حَدَّثَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ تُقَاتِلُونَ الْيَهُودَ حَتَّى يَخْتَبِيَ أَحَدُهُمْ وَرَاءَ
الْحَجَرِ فَيَقُولُ يَا عَبْدَ اللَّهِ هَذَا يَهُودِيٌّ وَرَائِي فَاقْتُلْهُ
“Telah
bercerita kepada kami Ishaq bin Muhammad Al Farwiy telah bercerita kepada kami
Malik dari Nafi' dari 'Abdullah bin 'Umar radliallahu 'anhuma bahwa Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Kalian akan memerangi orang-orang Yahudi hingga seorang dari merka akan
bersembunyi di balik batu, lalu batu itu akan berkata: "Wahai 'Abdullah,
ini Yahudi di belakangku bunuhlah dia". (HR.
Bukhari, No. 2708)
C. Jihad Sebagai Ajaran Islam
Pada prinsipnya, nilai dan ajaran umat Islam
secara keseluruhan mencerminkan suatu pandangan yang sangat positif terhadap
kehidupan. Islam melihat kehidupan sebagai kenyataan yang harus dijalani secara
serius. Kehidupan adalah salah satu tempat berlabuhnya tanda-tanda eksistensi,
kekuasaan dan bahkan segala sifat Tuhan. Pembacaan atau penelitian yang akurat
terhadap Alquran dan Sunah Nabi SAW, akan menunjukan secara jelas tentang sikap
Islam terhadap kehidupan dan realitas sosial. Dari dua sumber utama ajaran
Islam akan tampak bahwa prinsip-prinsip dasar ajaran Alquran dan Sunah Rasul
bertujuan untuk tindakan dalam kehidupan di dunia (Rahman, 1982 dalam A’la, 2014:
89).
Untuk memahami substansi ajaran Islam dan
untuk menelusuri visi dan misi Islam dalam kehidupan dan alam semesta, kita
niscaya untuk berangkat dari sumber ajaran dasar Islam sendiri. Dari ajaran itu
kemudian kita mengaitkannya dengan sikap dan perilaku Rasulullah sebagai
pembawa ajaran tersebut. Inti ajaran Islam dapat ditelusuri dari tujuan
kerasulan Nabi Muhammad sebagaimana dinyatakan secara tegas dalam Alquran surat
al-Anbiya (21) ayat 107: wa ma arsalna ka illa rahmatan li-l ‘alamin
(A’la, 2014: 96).
Islam adalah agama kasih sayang, di dalam
melaksanakan dakwahnya, Islam sesungguhnya tidak pernah memaksa kaum kafir
untuk masuk Islam. Begitupun dalam melaksanakan jihad fi sabilillah,
kaum muslim tidak semata-mata menabuh genderang perang memaksa kaum kafir untuk
masuk Islam. Jihad dilaksanakan atas dasar pertimbangan dan tidak dilakukan
secara membabi buta. Islam memiliki aturan yang kompleks. Jihad dilakukan
ketika umat Islam mendapatkan serangan maupun perlawanan dari kaum kafir. Maka
di sinilah letak ajaran jihad harus dikobarkan dengan semangat berjuang di
jalan Allah. Islam menegaskan, jihad selain merupakan salah satu ajaran Islam,
juga tidak bisa disimplifikasikan sebagai sinonim kata qital dan harb
(perang). Sementara perang selalu merujuk kepada pertahanan diri dan perlawanan
yang bersifat tindakan fisik, jihad memiliki makna yang kaya nuansa (A’la,
2014: 48).
Maka hal ini pun dipertegas oleh ungkapan
Yusuf Qardhawi yang dikutip oleh Sabir yang mengatakan bahwa “Kewajiban Jihad
adalah saran (al-wasa‟il), bukan tujuan (al-maqashid). Maksud
dari perang adalah memberikan hidayah dan syahada (kesaksian), sedangkan
membunuh orang kafir bukanlah tujuan, jika hidayah bisa diberikan dengan cara
memberikan dalil tanpa Jihad, hal ini lebih utama dari pada Jihad” (Qardhawi,
dalam Sabir, 2012: Vol. 12 hlm. 254).
Menurut Abd A’la dalam bukunya yang berjudul “Jahiliyah
Kontemporer dan Hegemoni Nalar Kekerasan” (2014: 148) mengatakan bahwa
keterpakuan umat Islam dan kekurang-arifan menyikapi realitas makna jihad,
menjadikan jihad mengalami reduksi makna sebatas perang dan sejenisnya. Bahkan
menguatnya Islam sebagai ideologi politik pada sebagian kelompok Muslim membuat
mereka membiaskan dan mendistorsi terma tersebut menjadi serangan yang
bernuansa teroristik. Pandangan semacam itu selain berseberangan dengan inti
ajaran Islam, juga dipastikan sangat tidak menguntungkan umat Islam dan manusia
secara keseluruhan. Karena itu, umat Islam perlu menelusuri dan mengembalikan
terma jihad berdasarkan makna jihad yang sesuai dengan substansi yang
dikandungnya. Dari upaya itu menurut A’la, umat Islam dan kita semua diharapkan
dapat menyikapinya secara lebih arif dan kritis, mengkorelasikannya dengan misi
Islam sebagai rahmatan lil alamin, dan pada saat yang sama juga mengkontekstualisasikannya
dengan kondisi zaman saat ini (A’la, 2014: 148).
Menurut Muhammad Sabir yang mengungkapkan
bahwa “Sangat disayangkan, makna jihad sebagai ajaran Islam yang suci telah
mengalami pergeseran makna. Ada sebagian aliran dalam Islam yang
menyalahgunakan jihad sebagai dalil untuk melakukan tindakan kekerasan,
terorisme dan pembunuhan manusia yang tidak berdosa. Beberapa dekade terakhir
ini, perjuangan melalui jihad sangat efektif dipergunakan oleh
kelompok-kelompok muslim ekstrim untuk melegalkan bom bunuh diri sebagai simbol
perlawanan” (Sabir, 2012: Vol. 12 hlm. 253).
Sebagaimana telah disinggung bahwa
gerakan-gerakan jihad yang sering dilakukan oleh berbagai kalangan menyebabkan
sebuah paradigma negatif bagi kaum non-Muslim. Mereka mengira bahwa Islam
adalah agama yang berbahaya. Ini mengakibatkan lunturnya konsep Islam rahmatan
lil alamin. Padahal, seperti yang diungkapkan oleh Hajriyanto Y. Tohari,
yang membahasakan bahwa Islam adalah risalah yang universal (untuk semua
manusia), yang pasti relevan bagi setiap perkembangan zaman dan tempat (shalih
li-kulli zaman wa makan), mondial (untuk seantero dunia) dan eternal
(sampai akhir zaman) (Thohari, 2000: 301).
Melihat keterperangkapan sebagian masyarakat
ke dalam pemaknaan jihad parsial dan distorsif, Umat Islam mutlak
meletakan konsep tersebut sesuai dengan substansi ajaran Islam. seiring itu,
pembumian jihad melalui kerja-kerja kemanusiaan, dari pemberantasan korupsi
hingga kemiskinan dan kebodohan (pembodohan) niscaya untuk dijadikan praksis
jihad umat Islam dari saat ke saat. Dalam tataran itu pula, umat Islam dituntut
keras untuk membangun peradaban menuju kesejahteraan umat Islam dan umat
manusia secara keseluruhan. Melalui upaya serius dan berkelanjutan itu, (yang
sangat mendesak untuk segera dilakukan), keberadaan Islam sebagai agama
kedamaian dan rahmatan lil alamin bukan sekedar lagi wacana, tapi akan
membumi kokoh dalam kehidupan. Untuk itu, ketulusan, kejujuran dan komitmen
bersama antara umat Islam dan negara-negara Barat untuk pencapaian hal tersebut
merupakan keniscayaan dan modal awal yang sama sekali tidak bisa diabaikan
(A’la, 2014: 20).
Oleh sebab itulah, sebuah bentuk ajaran jihad
hendaknya mampu menjadi spirit perjuangan kaum Muslim dalam membangun peradaban
yang maju untuk meneguhkan eksistensinya sebagai agama yang diridhai oleh Allah
SWT, sekaligus mendapatkan legitimasi dari umat manusia bahwa Islam benar-benar
agama yang memiliki sifat shalih li kulli zaman wa makan.
D. Transformasi Jihad di Era Kontemporer
Di era kontemporer, di mana zaman telah sangat
berkembang yang didukung oleh tekhnologi canggih, mengakibatkan perlunya
reinterpretasi makna jihad. Karena tafsir di era klasik tentu sudah tidak
relevan lagi jika diterapkan di era kontemporer. Karena perbedaan ruang dan
waktu membutuhkan sebuah transformasi baru dalam melaksanakan ajaran jihad. Dalam
sejarah Islam, jihad merupakan salah satu dari dua realitas utama Islam, dan
realitas lainnya adalah Alquran. Sementara kitab suci ini (dan Sunah Rasul)
sebagai sumber keimanan, maka jihad merupakan manifestasi dari keimanan (Ahmad,
dalam A’la, 2014: 149). Dalam perspektif Alquran dan Sunah, perwujudannya
sangat beragam dan berspektrum sangat luas menjangkau segala aktivitas selama
dasar dan tujuannya berada dalam bingkai ajaran dan moralitas luhur agama
(A’la, 2014: 149).
Kedamaian adalah sisi lain dari kasih sayang,
dan Islam memiliki hal itu. Segala bentuk ajarannya telah sangat baik diberikan
kepada manusia. Sehingga jika dijalankan dengan kesungguhan akan dapat
menghasilkan konsep hidup yang penuh dengan moralitas-moralitas luhur. Seperti,
keadilan, kesetaraan, kebebasan, kesejahteraan, kedamaian, saling menghormati,
dan toleransi. Pembumian toleransi, penegakan keadilan dan penyebarluasan nilai
moralitas luhur yang lain adalah bagian intrinsik dari Islam itu sendiri.
Rasulullah menegaskan bahwa dalam rangka penegakan risalah kerahmatan itu,
pengembangan moralitas luhur merupakan misi utamanya (A’la, 2014: 97).
Muhammad SAW sebagai pengemban utama misi
luhur itu telah mengimplementasikan dan menumbuhkannya ke dalam realitas
konkret sepanjang hidup Nabi. Sejarah yang dilalui membuktikan senyatanya sifat
dan perilaku Rasul yang merepresentasikan keluhuran nilai-nilai dan ajaran
Alquran tersebut. Bagi Rasulullah, keadilan adalah sesuatu yang tidak bisa
ditawar-tawar, tapi pada saat yang sama kasih sayang tetap menjadi bagian dari
keseluruhan sikap dan perilakunya. Akan tetapi walau realitasnya dalam sejarah
menunjukan bahwa pada masa Nabi sejumlah peperangan terjadi antara umat Islam
dan kaum kafir, sehingga tampak berseberangan dengan nilai kedamaian dan sejenisnya.
Kejadian-kejadian ini dapat menghantarkan perspektif bahwa Islam identik dengan
kekerasan, Islam disebarkan dengan agama pedang dan sebagainya (A’la, 2014:
99).
Penyimpulan semacam itu menurut Abd A’la
senyatanya terlalu terburu-buru, dan merupakan simplifikasi persoalan. Jika
ditilik lebih dalam maka perang yang dilakukan oleh Nabi itu lebih bersifat
defensif. Sehingga peperangan yang memiliki kualifikasi ofensif, sejatinya
telah keluar dari ajaran Islam itu sendiri. Dalam perspektif Islam yang dipahami
secara utuh oleh Rasulullah, perang merupakan preferensi terakhir manakala
jalan lain sudah tertutup dan tidak ada cara lain untuk mempertahankan diri
selain mengangkat senjata. Untuk itulah sebuah gerakan jihad di era kontemporer
harus lebih ramah dan bersifat konstruktif. Karena di era sekarang, peperangan
sudah tidak penting lagi karena ada hal yang perlu diperbaiki dalam masyarakat
Islam. yakni membangun peradaban yang maju dengan memberantas kemiskinan dan
keterbelakangan pendidikan.
Holistisitas makna jihad menjadikan ajaran ini
sebagai powerful symbol bagi ketekunan, kerja keras dan keberhasilan dalam
sejarah Islam (El Fadl, 2005 dalam A’la, 2014: 149). Jihad merupakan ajaran
yang dapat menghantarkan umat Islam sebagai khalifah Allah yang mengisi
kehidupan dengan peradaban agung dalam berbagai aspeknya. Peradaban Islam dari
saat ke saat adalah konkretisasi dari jihad. Dari jihad semacam itu, umat Islam
menggapai puncak prestasi dalam pengembangan ilmu pengetahuan – baik aqli
maupun naqli – sekaligus pembumiannya dalam kehidupan sepanjang sejarah
yang dilaui (A’la, 2014: 150).
Perkembangan zaman yang berlanjut menimbulkan
penafsiran baru akan makna jihad.
Reduksi makna jihad yang semakin menimbulkan ambivalensi agama harus
secara tegas dipangkas dari peradaban Islam modern. Beberapa tokoh Muslim
kontemporer meyakini bahwa jihad sama sekali tidak identik dengan perang (qital).
Tujuan utama jihad adalah human welfare dan bukan warfare. Dengan
demikian jihad menjadi kewajiban muslim sepanjang hidupnya. Maka sejalan dengan
itu, seperti dikutip oleh Abd A’la bahwa tokoh muslim menawarkan perluasan
lahan jihad sesuai dengan konteks kekinian. Moniruzzaman, misalnya,
mengeksplorasi jihad dalam konteks dunia kontemporer ke dalam tiga hal. Pertama,
eco-political jihad; merupakan upaya keras untuk melakukan reforestasi,
pelestarian binatang langka, gerakan anti polusi dan pengembangan politik
lingkungan. Kedua, humanist jihad; mengarahkan kepada gerakan melawan
tirani, opresi dan pelanggaran hak-hak asasi manusia. Ketiga, jihad against
international terrorism; selain upaya eliminasi terorisme, juga terkait
dengan upaya penyelesaian kekerasan dan pembersihan etnis, serta endemik global
(Moniruzzaman, 2008 dalam A’la, 2014: 153).
Kemudian, karena jihad memiliki spektrum yang
luas maka alat dan objeknya juga bervariasi. Dalam segi alat misalnya, seperti
dikutip oleh Gugun El-Guyane (2010: 57-58), Abdul Karim Zaidan membaginya
menjadi dua, yaitu: 1) Jihad dengan lisan. Ini berarti menerangkan
ajaran-ajaran Islam dan menangkis pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan
Islam. 2) Jihad dengan harta. Yaitu mendermakan harta dalam amal-amal
kebajikan, terutama untuk membiayai perang para pejuang fi sabilillah dalam
menghadapi musuh-musuh Allah SWT. Hal tersebut diperkuat dengan hadis yang
diriwayatkan oleh Abdillah Ibn Mas’ud (Umar, 2008 dalam El-Guyane, 2010: 58),
sebagai berikut:
“Dari Abi Rafi’ dari Abdillah ibn Mas’ud
diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “... Siapa saja yang berjihad
melawan mereka (orang kafir) dengan tangannya berarti ia orang yang beriman;
siapa saja yang berjihad melawan mereka (orang kafir) dengan lisannya berarti
ia juga orang yang beriman; dan siapa saja yang berjihad melawan mereka (orang
kafir) dengan hatinya juga termasuk orang yang beriman. Di luar itu, tidak ada
iman sebiji sawi pun.”
Penelusuran atas makna jihad yang dilakukan
sebelum ini menghantarkan kita pada holistisitas makna jihad yang sarat dengan
nilai-nilai etika moralitas agung. Ajaran ini menuntut umat Islam agar
mengerahkan daya secara berkesinambungan untuk menyelesaikan persoalan
kehidupan dalam bingkai dan tujuan pembumian akhlak al-karimah. Melalui
ajaran ini, Islam menantang umatnya untuk selalu peka terhadap kondisi yang
mengitarinya dan sekaligus mampu menyikapinya secara arif, kritis dan penuh
tanggung jawab. Maka dalam konteks modernitas kekinian, persoalan umat dan
bangsa yang cukup menantang untuk dijadikan lahan jihad adalah masalah
kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan dan sifat hedonisme. Sebab aspek
kehidupan ini berada dalam ambang cukup memprihatinkan yang dapat menjauhkan
umat muslim dan bangsa dari keutuhan eksistensial sebagai manusia (A’la, 2014:
154).
Wacana mengenai jihad yang tidak identik,
bahkan berbeda sama sekali, dengan perang apalagi terorisme sebenarnya mulai
menyebar dan menguat di kalangan umat Islam dewasa ini. Namun mereka tidak bisa
berhenti sebatas itu. Mereka jangan sampai terperangkap dengan sikap
apologetik. Umat Islam harus membumikan makna jihad yang holistik melalui
praksis nyata, yang di antaranya dengan melakukan pemberdayaan ekonomi dan
penguatan intelektual. Untuk melakukan jihad ini tentu tidak semudah membalikan
telapak tangan. Komitmen yang kuat, ketulusan dan ketekunan dari umat Islam
menjadi moral utama yang sama sekali tidak bisa diabaikan. Sejalan dengan itu,
politik yang kondusif perlu dikembangkan secara bersama-sama. Sebab persoalan
politik merupakan aspek lain terjadinya karut marut dunia yang renta ini. Pada
sisi ini umat Islam harus bertindak aktif, negara atau kelompok yang selama ini
selalu mencitraburukkan Islam juga perlu membuang stigmatisasi terhadap Islam
dan umatnya, yang kemudian dilanjutkan dengan dialog-dialog antara muslim dan
pihak atau kelompok yang memiliki prejudis terhadap Islam. melalui gerakan
ganda dan komprehensif itu, capaian-capaian signifikan (semoga) akan terwujud
dalam waktu yang relatif tidak terlalu lama (A’la, 2014: 157).
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Jihad seringkali dimaknai sebagai bentuk
kekerasan, walaupun pada hakikatnya jihad memiliki berbagai macam kualifikasi.
Seringnya pemahaman secara tidak utuh menghasilkan pemaknaan yang kurang
komprehensif. Alih-alih begitu, dapat menghancurkan Islam sendiri. Konsekwensi logis
yang akan diterima ialah timbulnya stigmatisasi dari pihak non muslim yang
menganggap bahwa Islam adalah agama kekerasan yang disebarkan menggunakan
pedang. Pemahaman yang kurang didukung oleh berbagai fenomena terorisme yang
dilakukan oleh kelompok radikalis menambah keruwetan dalam permasalahan jihad.
Ambivalensi agama tidak dapat dihindari. Yang terjadi munculnya islamofobia di
kalangan kaum non muslim. Sehingga menambah kebencian terhadap orang muslim.
Masyarakat non muslim semakin tidak mau mengenal Islam.
Kendati begitu, jihad merupakan salah satu
ajaran Islam. Bahkan posisinya dalam agama menempati urutan ketiga setalah
amalan sholat dan berbakti kepada orang tua. Hal ini menunjukan betapa
pentingnya setiap umat muslim dalam melaksanakan jihad. Maka jihad yang musti
dilakukan di era kontemporer ini adalah untuk memberantas kemiskinan dan
keterbelakangan. Untuk itulah makna jihad harus selalu dikontekstualisasikan
menurut perkembangan zaman. Karena Islam adalah agama yang memiliki sifat shalih
li kulli zaman wa makan.
B.
Saran
Sebuah pemahaman jihad hendaknya harus selalu mengalami regenerasi
pemikiran yang disesuaikan dengan tuntutan zaman. Sebuah gerakan jihad
hendaknya mampu untuk melihat situasi kemiskinan yang kini dihadapi oleh umat
Islam, maka makna jihad yang lebih tepat untuk menapaki masa depan adalah
bagaimana ia diproyeksikan sebagai usaha membentuk welfare state (masyarakat
sejahtera).
DAFTAR PUSTAKA
A’la, Abd. 2012. Jahiliyah Kontemporer dan Hegemoni Nalar Kekerasan. Yogyakarta:
LKiS.
Al-Ashqolani, Ibnu Hajar. tt. Bulughul Maram. Sumber: http://assunnah.mine.nu, E-Book dibuat oleh http://salafidb.googlepages.com
Al-Khu’i, Sayyid Abul Qasim. 2003. Menuju Islam Rasional Sebuah
Alternatif Memahami Islam. Jakarta: Hawra Publisher.
As Sidokare, Abu Ahmad. 2009. Kitab Shahih Bukhari. E-Book, Pustaka
Pribadi.
Azra, Azyumardi. 1996. Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme,
Modernisme hingga Post Modernisme. Jakarta: Paramadina.
Baidhawy, Zakiyuddin. 2012. Konsep Jihad dan Mujahid Damai. Jakarta
Pusat: Kementerian Agama Republik Indonesia.
El-Guyane, Gugun. 2010. Resolusi Jihad Paling Syar’i. Yogyakarta:
Pustaka Pesantren.
Ramdhun, Abdul Baqi. 2002. Jihad Jalan Kami. Solo: Era Intermedia.
Rohimin. 2006. Jihad Makna & Hikmah. Jakarta: Erlangga.
Rumadi. t.t. Renungan Santri Dari Jihad Hingga Kritik Wacana Agama. Jakarta:
Erlangga.
Sabir, Muhammad. 2012. Jihad dalam Kajian Hadis, dalam Jurnal
Al-Risalah Vol. 12, No. 2.
Salenda, Kasjim. 2009. Terorisme dan Jihad dalam Perspektif Humum Islam.
Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI.
Samudra, Imam. 2004. Aku Melawan Teroris. Solo: Jazera.
Suharsono. 2005. Jihad Gerakan Intelektual: Mengubah Langgam Doktrinal
Menuju Bahasa Konsep. Yogyakarta: Kreasi Wacana.