Satu Cinta Satu Liang Lahat
@MKRidwan
M Kholil Ridwan
Aku adalah mahasiswa semester 5 di Perguruan
Tinggi STAIN Salatiga, sebut saja aku Rizwar. Aku tinggal disebuah tempat kos
kecil di Kembang Arum, karena rumahku ada di pulau Sumatra tepatnya di Provinsi
Lampung, Kabupaten Tanggamus, Kecamatan Sumberejo di desa Argomulyo. Aku memang
tidak keren-keren amat tapi aku agak heran karena kenapa di kampus tidak
sedikit gadis yang menyukaiku. Akan tetapi anehnya aku pun tidak mempunyai
seorang pacar, itulah kenapa aku sering dikatain si kutu buku yang anti cewe.
Karena aku selalu menyibukan diriku dengan membaca buku dan menulis, sehingga
sampai tidak ada waktu untuk mencari seorang kekasih. Pernah sempat ditanya
sama teman sekelasku
“Eh
Rizwar, kamu itu banyak fansnya tapi kok gak punya pacar?”
“aku
lagi kepengen serius buat kuliah dulu”, jawabku sambil tersenyum.
Memang dari awal masuk kuliah aku sudah
berjanji untuk tidak pacaran terlebih dahulu karena aku takut kuliah ku
terganggu, karena aku telah berjanji kepada kedua orang tua agar tidak
mengecewakan mereka dan jadi kebanggaan keluarga. Memang pada dasarnya aku
terlahir dari keluarga sederhana, dan menjadi seorang mahasiswa adalah hal yang
sangat luar biasa bagi keluarga kami. Aku pun bisa kuliah lantaran dapat
beasiswa, jadi orang tuaku tidak terlalu berat menanggung baiaya perkuliahan.
Seiring bergulirnya waktu ternyata aku mulai
dihinggapi rasa kesepian karena tidak mempunyai pacar, saat dimana
teman-temanku pergi semua dengan pacarnya masing-masing. Namun aku selalu
menyembunyikan kesepianku itu dengan cara membaca buku dan menulis. Hanya itu
yang bisa kulakukan untuk mengisi kehidupanku sehari-hari. Sampai aku menginjak
semester 7 aku mulai memberanikan diri untuk mencari seorang pacar. Tapi
ternyata tak semudah yang aku kira, walau begitu banyak yang mengagumiku tetapi
tidak ada yang cocok dengan hati ini. Kejadian inipun berlangsung hingga aku
wisuda. Keirian didalam hatipun mulai bertambah ketika melihat teman-temanku
merayakan keberhasilannya dengan didampingi oleh kekasih dan orang tuanya,
sedangkan aku hanya didampingi oleh pamanku, karena orang tuaku tidak bisa
datang karena kendala biaya transport. Aku berbisik dalam hatiku
“Yah.
. . sungguh lengkap penderitaanku, saat di mana aku bahagia tetapi tidak
didampingi oleh orang-orang yang aku sayangi”
Tapi aku sadar jika ini yang terbaik untukku,
ini adalah rencana Tuhan yang terbaik untukku suatu saat nanti. Bagiku ini
adalah awal di mana aku harus belajar untuk hidup, di mana aku harus mengatur
hidupku sendiri, menentukan pilihanku sendiri karena aku kini telah menjadi
seorang sarjana dan tak pantas lagi untuk merengek kepada orang tua.
Tiba di mana aku telah mendapatkan pekerjaan
menjadi seorang pengajar disalah satu SMA di kota Salatiga, dimana kini aku
telah berusia 24 tahun usia di mana seorang lelaki telah pantas untuk mempunyai
seorang kekasih ataupun pendamping hidup. Di dalam keseharianku mengajar di SMA
N 1 Salatiga sedikit menghilangkan kesepianku tanpa seorang kekasih karena bisa
berbaur dengan para siswa-siswi di sana. Akan tetapi kebahagiaanku belum akan
lengkap tanpa hadirnya sesosok gadis yang aku sayangi. Disela kesibukanku
itupun aku menyempatkan diri untuk berusaha mencari pasangan hidup. Namun apa
kenyataanya Tuhan berkata lain, Dia belum menghadirkanku seorang pendamping
hidup. Saat usiaku menginjak 25 tahun aku semakin gelisah akan hal ini karena
sampai dengan usia seperti ini aku belum mempunyai seorang istri, jangankan
istri pacarpun aku tak mempunyainya. Fikiran di otakku hanya ada
pertanyaan-pertanyaan bagaimana aku bisa mempunyai seorang pacar untuk aku
nikahi. Saat itupun di mana aku memutuskan untuk berhenti mengajar di sekolah
dan pulang ke Lampung untuk kembali kerumah kedua orang tua dan berniat untuk
mencari pekerjaan di sana. Setelah selesai mengajukan surat pengunduran diri
kepada pihak sekolah, aku bergegas pulang untuk mengemasi barang-barang
ditempat tinggalku. Dan tak lupa aku berpamitan kepada teman-temanku yang
selama ini menemaniku berjuang di bangku perkuliahan.
“teman-teman, aku berencana untuk pulang ke
Lampung, aku ingin menengok keluarga yang di sana, dan mungkin aku tidak akan
kembali lagi kesini, aku tidak akan melupakan kalian semua”
“Rizwar, kami pasti tidak akan melupakanmu
juga, dan kami masih berharap suatu saat nanti kita dapat bertemu lagi, kita
adalah teman sejati, teman akan selamanya teman, berhati-hatilah di jalan kami
mendoakanmu” jawab mereka dengan wajah bersedih.
“terima kasih” jawabku sambil melambaikan
tangan. .
Dan aku pun pergi meninggalkan teman-temanku, terbersit rasa
kesedihan yang mendalam saat harus berpisah dengan teman-temanku, tapi inilah
keputusan yang telah aku buat untuk pindah ke Lampung demi menemukan seorang
pendamping hidup seperti yang tergambarkan di dalam mimpiku.
Semoga apa yang aku cari selama ini bisa aku temukan di sana
nanti.
Setelah menempuh perjalanan selama dua hari dua malam aku telah
sampai di Lampung, dan bertemu keluargaku di sana
dan tentunya bertemu dengan kedua orang tuaku yang telah lama aku rindukan.
Setelah beberapa hari di sana akupun meminta izin kepada orang tua untuk bekerja di kota, dan akhirnya
aku berangkat menuju ke kota Bandar Lampung. Aku yang sebelumnya telah
mendaftar menjadi dosen di sebuah perguruan tinggi swasta yang bernama
Universitas Bandar Lampung (UBL) dan telah diterima untuk mengajar di sana.
Hari-hari pun berganti dengan suasana yang berbeda, di mana aku harus mengajar
seorang mahasiswa. Dihari pertama akau masuk untuk mulai mengajar aku teringat
lagi akan mimpi waktu itu
“ahh. .mungkin ini hanya halusinasiku saja,
sudahlah lupakan !!” kataku didalam hati.
Akupun melanjutkan perjalanan karena hari ini
adalah pertama kalinya aku mengajar di sini, rasa gugup masih menghinggapi
diriku akan tetapi seiring berjalannya waktu aku sudah mulai terbiasa akan
kehidupan di sini. Akupun mulai memasuki kelas, kelas yang pertama aku masuki
adalah kelas A1 mahasiswa semester 5. Ini adalah kali pertama aku masuk ke
kelas ini sehingga semuanya tampak asing, tetapi ada satu hal yang membuatku
terperangai dan sepertinya sudah tidak asing lagi bagiku. Ya seorang gadis yang
duduk disebelah kanan kursi nomor dua, seperti sudah pernah bertemunya tapi aku
agak lupa. Setelah sesaat mengingat-ingat ternyata tidak salah lagi gadis itu
adalah gadis dalam mimpiku dia bermuka cantik, hidung mancung, bibir tipis dan
punya dua lesung pipi yang mungil. Sempat aku berbisik
“apa
benar ini gadis yang ada didalam mimpiku waktu itu, jika benar dia aku sungguh
beruntung, Tuhan dia kah yang akan menjadi pendampingku?”
Seketika itu lamunanku terhenti akibat suara
gaduh dari para mahasiswa, dan akupun memulai pelajaran hari itu. Setelah selesai
proses mengajar kami semua keluar dari ruangan, dan mataku mencoba mencari
gadis yang tadi. Dengan santai akupun mendekati gadis itu dan bermaksut untuk
berkenalan dengannya
“hai.
. .nama kamu siapa?”
“nama
aku Intan, ada apa ya?” dengan gugupnya
“Intan
ya, kenalin namaku Rizwar aku dosen baru di sini”
Sepertinya Intan pun telah tertarik denganku
saat pandangan pertama. Intan adalah anak seorang pengusaha kaya raya, ayahnya
cukup berpengaruh di Lembaga ini. Akan tetapi Intan adalah gadis yang baik hati
dan tidak sombong walaupun orang tuanya seorang yang kaya raya, inilah
alasannya yang membuat aku menyukainya. Kemudian selang beberapa hari kami pun
mencoba untuk saling mengenal satu sama lain, dan akupun merasakan kenyamanan
saat didekatnya. Hari-hari terus berlalu diiringi dengan semakin dekatnya kami
berdua bak seorang kekasih, dan kami diam-diam sering membuat janji untuk
bertemu sehabis pulang kuliah, kejadian inipun berlangsung hingga beberapa
bulan sampai akhirnya kami resmi berpacaran tanpa sepengetahuan oleh mahasiswa
lainnya. Akan tetapi kami tak lagi mampu menyembunyikan kemesraan di antara
kami, dan ternyata dari kalangan mahasiswa telah banyak yang mengetahuinya. Itu
semua membuat kami canggung saat proses perkuliahan berlangsung. Pada akhirnya
tak terasa satu tahun telah berjalan dan melewati lika-liku cinta kami, hingga
pada akhirnya kami memutuskan untuk segera menikah setelah Intan lulus kuliah
di mana sekarang dia sudah menginjak semester akhir. Sambil menunggu Intan
wisuda akupun tak bersantai-santai begitu saja, justru aku harus memutar otak
seratus delapan puluh derajat untuk memikirkan hal yang harus aku lakukan untuk
pernikahanku nantinya supaya semuanya lancar. Dan tak lupa akupun mulai menabung untuk kebutuhan finansial kami dan
juga sebagai biaya pernikahan dan membelikan cincin perkawinan untuk Intan. Ini
semua aku persiapkan untuk dia, untuk memberikan kejutan kepadanya karena
betapa aku sangat mencintainya.
Setelah Intan di wisuda kami pun berencana
untuk meminta restu kepada orang tua kami, dan mula-mula Intan aku ajak pergi
ke rumahku untuk bertemu keluargaku di desa. Bahwasanya Intan pun telah
mengetahui bahwa aku hanyalah anak kampung dari keluarga yang sederhana akan
tetapi Intan tak sedikitpun menyoalkan akan hal itu, karena dia menganggap
cinta tak pernah memandang harta dan tahta karena dia benar-benar mencintaiku
apa adanya. Setelah sampai di rumahku kami pun langsung berterus terang apa
maksud dan tujuan kami berkunjung kerumah, akupun mengawali pembicaraan itu
“bu. .pak. . ini Intan pacar Rizwar, kami
kesini bermaksud untuk meminta restu dari ibu dan bapak bahwa kami ingin
menikah secepatnya”
Seketika suasan menjadi tegang saat bapak
menegapkan badannya. Bapak memang bersifat keras, tegas dan tidak suka
basa-basi.
“kamu
mau menikah le? , apa kamu sudah siap?” tanya bapak.
“saya
sudah siap pak, saya kan sudah berusia 27 tahun”
“ini
bukan soal usia le, membangun sebuah rumah tangga itu tidaklah mudah, apa kamu
sudah punya penghasilan yang menetap untuk menghidupi anak dan istrimu nanti?”
Bapak terlihat menasehatiku dan seakan aku
memang belum siap untuk menikah, akan tetapi ini sudah menjadi tekadku untuk
segera menikah dan punya momongan. Aku berfikir aku telah siap untuk membangun
keluarga yang bahagia toh aku juga sudah menabung untuk kebutuhan kami setelah
menikah.
“tapi
pak, aku sudah punya tabungan untuk pernikahan kami dan aku juga sudah
merencanakan jauh hari untuk pernikahan kami ini” jawabku dengan perasaan
yakin.
Mereka berduapun akhirnya memberikan restu
“ya
sudah le kalau itu sudah menjadi keputusan kamu, bapak sama ibu cuma bisa
mendo’akan semoga kalian menjadi keluarga sakinah mawadah warohmah, amiin”
Perasaan ini terasa sangat bahagia saat di mana
bapak memberikan restu kepada kami untuk menikah. Akan tetapi ibu memotong
lamunanku
“le
apa kamu sudah meminta restu kepada orang tua Intan?”
Jantungku berdetak kencang dan kepalaku
seperti disambar petir saat ibu menanyakan hal itu, karena dari awal aku merasa
takut untuk menemui orang tua Intan karena ayahnya Intan terkenal orang yang
tempramen dan angkuh, ini sangat jauh berbeda dengan sifat Intan yang sangat
baik hati dan lemah lembut. Aku pun memberanikan diri untuk menjawab pertanyaan
ibu
“gini
bu, rencana kami setelah meminta restu kepada ibu dan bapak kami baru meminta
restu kepada orang tua Intan” jawabku dengan rasa gugup.
“ya
sudah, nanti hati-hati di jalan dan jangan lupa jangan pernah kecewain ibu dan
bapakmu dan ingat satu hal lagi le, kamu tidak boleh menyia-nyiakan istrimu
nanti” pesan ibu kepadaku.
Setelah selesai kami pun memutuskan untuk
kembali ke kota untuk pergi kerumah Intan guna meminta restu kepada orang
tuanya. Sesaat kami telah sampai di rumah Intan. Perasaan gugup dan takut mulai
menyelimuti diriku, perasaan seperti ini belum pernah aku rasakan sebelumnya
badanku panas dingin dan kaku saat menatap rumah Intan yang sangat mewah dan
besar. Tentu hal ini mengucilkan diriku dan betapa diriku ini begitu rendah
dihadapan keluarga Intan, perasaan ini bertambah saat kami mulai memasuki rumah
Intan lewat dua pintu yang besar dan kokoh itu. Aku merasa mau lari
terbirit-birit karena aku sangat takut akan hal ini, apalagi aku kesini untuk
meminta restu untuk menikahi anaknya.
Saat
kami telah memasuki rumah Intan, Intan pun bergegas menemui orang tuanya. Intan
bermaksut memberi tahukan kepada mereka bahwa ada seseorang yang ingin bertemu
dengannya. Setelah sejenak aku duduk di kursi mereka akhirnya datang untuk
menemuiku. Perasaan takut dan gugup tentunya makin bertambah saat pertama
kalinya aku bertemu dengan orang tua Intan.
“Intan,
dia siapa?” tanya ibunya
“dia
pacarku bu”
Setelah suasana sedikit tenang kami pun
memulai pembicaraan, untuk membicarakan apa maksudku silaturrahim kerumah
Intan.
“maaf
pak, bu nama saya Rizwar saya datang kesini berniat untuk silaturrahim kepada
bapak dan ibu”
Sepertinya mereka tidak menjawab akan hal ini,
aku pun bermaksut untuk langsung berterus terang kepada beliau bahwa aku ingin
menikahi putri semata wayangnya.
“maaf
pak, buk sebelumnya saya kesini ingin meminta restu kepada bapak dan ibu”
“restu
apa?” ayah Intan menjawab dengan mata melotot
Aku merasa gugup saat menatap wajah ayah Intan
yang sepertinya beliau tidak menyukaiku.
“ee.
.ee kami bermaksut untuk menikah bulan depan”
“Apa
!!! kamu mau menikahi anak saya?” bentak ayah Intan
“iya
pak, kami sudah pacaran selama dua tahun dan kami sudah sepakat untuk menikah
bulan depan”
“punya
apa kamu mau menikahi anak saya? Apapun yang terjadi saya tidak akan menyetujui
hal ini, karena Intan sudah punya calon suami.”
Perasaanku seperti tercabik-cabik saat mendengar
perkataan dari ayah Intan. Seketika itu
badanku menjadi lemas tak berdaya dan aku memutuskan untuk pulang ke kampung,
sementara itu Intan beberapa kali meminta persetujuan dari orang tuanya, karena
pada dasarnya Intan tidak mencintai lelaki pilihan ayahnya. Setelah beberapa
kali Intan memaksa ayahnya, akan tetapi tetap tidak ada hasilnya dan akhirnya dia
memutuskan untuk menyusulku ke desa tanpa sepengetahuan orang tuanya.
Dan setelah Intan
bertemu denganku dia mengatakan kalau hanya ingin menikah denganku, begitupun
denganku yang sudah terlanjur mencintainya. Entah setan apa yang telah
membisikan hal buruk kepada kami sehingga mempunyai fikiran untuk kawin lari
dan setelah itu kami berencana untuk bunuh diri, karena kami tahu pernikahan
tanpa restu orang tua tidak akan pernah bahagia. Tibalah di mana
kami pergi ke KUA meminta pak pengulu untuk menikahkan
kami, dengan hal inipun kami harus membayar orang untuk menjadi wali agar
pernikahan kami bisa terlaksana. Proses pernikahan pun telah berlangsung
kemudian kami berniat untuk melakukan bunuh diri bersama, namun sebelum kami bunuh
diri kami menulis sepucuk surat
“siapapun yang menemukan mayat kami, ini permintaan kami
yang terakhir, tolong kuburkan jenazah kami pada satu liang lahat”
Begitulah kami menuliskan surat wasiat yang
menjadi kesepakan kami berdua. Setelah menggenggam surat di kepalan tangan
kiriku kami langsung melakukan bunuh diri dengan cara meminum racun. Dan
seketika itu perasaan pusing dan dunia semakin gelap, gelap dan gelap dan
akhirnya aku sudah tak sadarkan diri lagi begitupun dengan Intan, tangan kami
saling bergandengan untuk membuktikan cinta sejati yang kami miliki.
The End
Nama
saya adalah M Kholil Ridwan dan saya seorang mahasiswa di STAIN Salatiga, aku
tinggal di kos Jl. Nakula Sadewa No.3, Kembang Arum, Sidomukti, Salatiga, 50721
. saya lahir di Argopeni, 26 Juni 1994. Dan golongan darah saya (O).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar