Translate

Kamis, 19 Februari 2015

Hanya Sebatas Mimpi di Kertas

Hanya Sebatas Impian di Kertas

Angin bertiup menyapu hari yang redup, langit nampak muram menahan beban. Setumpuk kertas yang berserakan di kamar membuat suasana semakin tak menentu. Fikiran berkecampuk tak karuan membuat kepala serasa mau pecah menahan beban hidup yang terasa sangat berat untuk dijalani. Terkadang hidup ini tak semudah yang aku bayangkan selama ini. Sempat aku berfikir Tuhan memang tak adil padaku, aku merasa, aku adalah orang yang paling susah dinegeri ini. Tetapi ketika teringat seorang kakek renta berambut putih yang menggunakan tongkatnya untuk berjalan. Hatiku seperti terketuk ketika beliau berpesan kepadaku “Jangan pernah menyesali nasib, karena masih banyak hal yang sesungguhnya perlu disyukuri”. Saat mendengar ucapan itu, perkataan itu bagai gemuruh petir yang menyambar-nyambar di dadaku. Menyesakkan sekali. Aku tersadar jika yang selama ini aku rasakan semuanya salah. “Benar yang dikatakan oleh kakek itu” sesalku dalam hati.
Untuk apa aku terus mengeluh tiada hasil. Lebih baik aku memikirkan apa yang telah aku miliki dan menyusun kehidupanku sebaik mungkin. Aku sadar kehidupanku mungkinlah masih tergolong lebih mudah dibandingkan dimana orang-orang kurang beruntung diluar sana. Namun terlepas dari itu banyak hal yang bisa aku syukuri dari kehidupanku.
          Aku berdo’a sembari bersujud
        “ya Allah, ampuni aku yang telah banyak menghujat-Mu. Ampuni aku yang telah banyak menuntut akan kehidupan ini, yang tak pernah puas akan yang telah Engkau berikan kepadaku sampai-sampai aku melalaikan untuk bersyukur kepada-Mu. Ampuni atas segala ke khilafan ini. Semata-mata hamba hanya mengharap ampunanmu. Meletakkan kepala bersujud dihadapanmu, dengan perasaan rendah dan hina dina ini. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui atas apa yang ada didepan dan dibelakang, maka tunjukanlah hamba jalan yang terbaik untuk hamba. Bantulah hamba dalam mencapai cita-cita hamba. Dan bantulah hamba dalam meraih kebahagian hidup hamba di dunia dan akherat. Bimbing hamba ya Allah. Sesungguhnya Engkau Maha Pengasih dan Maha Penyayang.”
Tanpa sadar mataku mulai meneteskan air dari sudut mata yang tipis, saat aku bangun dan duduk bersimpuh ditengah guratan kertas yang masih tercecer berantakan. Kemudian aku duduk bersila, aku menarik nafas dalam-dalam, mengisi paru-paru dengan udara untuk menguatkan diri. Pelan-pelan, aku hembuskan nafas, bagai membuang beban. Mulut dan hatiku tak henti mengucap istighfar. Nama Allah aku lafadzkan semampu bibir dan hati mengucapkan.[]
Dari awal aku telah terlahir ke dunia dengan berteman sepi. Tiada hari yang menyenangkan yang pernah aku lalui. Bagiku, dunia ini terlalu kejam. Sangat sepi untuk kehidupanku. Entah kenapa sebenarnya. Ini bukan semata-mata karena aku tidak mempunyai teman bermain, keluarga, atau orang lain. Akan tetapi yang menjadi penyebabnya ialah cara hidup yang aku lakoni sedikit berbeda dengan kebanyakan orang pada umumnya. Bukan juga berarti saya ini seorang autis, indigo atau orang yang mempunyai kelainan mental. Namun terlepas dari hal itu, aku memang tidak sedikit menyukai hal keramaian apalagi yang berbau foya-foya yang tidak menimbulkan manfaat. Aku lebih suka menyendiri untuk menulis di lembaran kertas. Lembaran demi lembaran aku isi dengan coretan tinta untuk mengisi dunia yang sepi ini. Aku memang tidak banyak mempunyai teman karena aku sendiri tidak pandai bersosialisasi, mungkin ini adalah salah satu kelemahanku. Tapi itu semua aku jalani dengan perasaan senang dan mengalir. Ya seperti inilah karakterku. Aku tidak menyukai keramaian karena aku punya mimpi. Mimpi menjadi seorang penulis terkenal. Terkadang aku sempat bertanya pada diriku sendiri apakah hidup yang aku pilih ini benar?. Menghindari orang lain hanya untuk merenung, menggagas ide untuk menulis sebuah cerita maupun puisi. Hanya ketenangan dalam hidup yang aku cari. Bukan uang, bukan barang atau yang lainnya. Aku hanya ingin menjadi seorang penulis karena itu adalah mimpiku. Mimpi yang harus aku kejar dan harus aku wujudkan. Ya ini diriku dan inilah aku apa adanya yang mungkin dipandang aneh oleh banyak orang.
“tok . .tok. . .tok. . . “suara ketukan pintu menghancurkan lamunanku
“siapa ya ?”
“ini ibu nak, ayo makan dulu”
“iya bu, sebentar” akupun bergegas mengemasi kertas yang tercecer dan bergegas menuju ruang makan.

Saat sedang menyantap hidangan lamunanku kembali menghampiri fikiran. Lagi-lagi teringat akan kehidupanku yang aku sendiri tak tentu mau kemana, padahal aku sendiri sudah bertekat ingin menjadi seorang penulis. Namun lagi-lagi keragu-raguan datang silih berganti. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Rene Descartes bahwasanya manusia ialah tempatnya keragu-raguan.
Aku jadi teringat akan waktu itu. Ya hari itu tepat hari selasa ketika aku pulang dari sekolah. Hari itu hatiku seperti terbakar api neraka saat aku masuk kamar. aku menyaksikan hal yang selama ini aku khawatirkan. Semua hasil karya tulisanku berantakan. Berantakan bukan karena terkena angin atau karena ulahku yang sedang ingin membaca-baca ulang semua tulisanku. Tetapi ini hal yang sangat menyakitkan. Hasilku semua disobek-sobek, entah siapa yang telah melakukannya. Aku merasa sangat terpukul karena begitu antusiasnya aku ingin menjadi seorang penulis. Semua kertas itu ialah hasil buah fikirku selama ini, segala perasaan dan curahan hati juga aku tuangkan semuanya didalam selembar kertas. Hingga berlembar kertas terpenuhi oleh goresan tinta hitam.
Aku mencoba mencari tahu siapa yang telah menyobek karya-karyaku. Akupun mulai bertanya sama ibu. Dan ternyata benar dugaanku, bahwa ayahlah yang telah melakukannya. Ayah memang tidak pernah setuju kalau aku menjadi seorang penulis. Beliau selalu menyuruhku menuruti kemauannya. Dia selalu ingin aku menjadi seorang pengusaha yang sukses. Tapi aku tidak pernah setuju akan pilihan dia. Karena ini adalah mimpiku. Ini hidupku. Sudah seharusnya aku yang menentukan masa depanku sendiri bukan lagi ayah atau siapapun. Cukup semua sudah diatur olehnya, memang ayah terlalu diktator terhadap semua anaknya. Ahh entahlah semua ini semakin membuatku bingung.[]
          Aku sadar aku memang tidak pantas mendapatkan semua itu. Ayah yang tidak pernah setuju akan mimpi-mimpiku tapi aku tidak akan pernah menyerah untuk mewujudkan mimpi ini. Ya seperti inilah kehidupanku yang selalu diselimuti dengan kesepian. Akan tetapi aku masih punya dua teman. Teman yang selalu mendukungku disaat semua orang mulai menjauhiku. Dan mereka berdualah yang selalu menemani dikesendirianku tanpa rasa lelah dan mengeluh. Membaca dan  menulis memang hal yang tidak bisa terlepas dari kehidupanku, karena hanya dengan  dua hal itulah aku dapat mencurahkan segenap perasaan yang ada didalam hati maupun fikiran, hanya untuk mengusir kesepian yang menjangkit dan menggerogoti tubuh ini. Memang sejak kecil aku telah memulai kehidupan dan tumbuh dengan berteman sepi. Dan hal itu sempat membuatku merasa tertekan dan membuat frustasi. Akan tetapi seiring berjalannya waktu aku mulai menemukan jati diri. Lagi-lagi mereka berdualah yang menjadi teman luar biasa yang dapat merubah hidupku menjadi lebih berwarna dan semangat. Mereka lain daripada teman yang lain mereka selalu ada saat aku membutuhkannya, bahkan disetiap tidurkupun mereka selalu menemani dan menjaga tidurku. Hingga suatu saat aku menyebutnya sebagai best friend karena hanya mereka berdualah yang selalu menemaniku dikala aku dirundung kesepian. Aku tak pernah merasa curiga ataupun sangsi terhadap mereka karena aku sudah menganggapnya sebagai bagian dalam hidupku. Mungkin inilah yang akan yang akan memberi semangat yang akan menghantarkan diriku menjadi penulis terkenal. Dan mungkin ini terlalu berlebihan adanya, namun hal ini merupakan sesuatu yang sangat luar biasa bagi hidupku karena selama hidupku mereka telah menjadi seorang figur untukku. Walaupun kenyataannya mereka itu tak pernah hidup dan hanya berwujud benda, namun entah mengapa rasa ini melebihi pertemanan dengan sesama manusia. Tapi kenyataannya mereka berdualah yang telah menghantarkanku menjadi seorang penulis terkenal, karena kesungguhan yang aku miliki yang akhirnya dapat menolong diriku sendiri.[]
Jika perjalanan hidup adalah setelah mimpi tercapai, maka apakah aku sudah tiba diujung perjalanan. Mimpiku itu seandainya menjadi seorang penulis, tak jauh berbeda dengan mimpi orang-orang diluar sana. Bedanya hanya sejauh mana sepenuh daya untuk berusaha meraih mimpi itu dan tak terhenti sampai benar-benar meraihnya. Manakala mimpi itu sudah ku penuhi, anehnya, aku merasa ini bukan akhir  dari keinginan yang hendak aku penuhi. Kini aku menatap langit ada sesuatu yang jauh lebih kuinginkan. Ya, kasih sayang. Demikianlah, hari itu aku menyadari bahwa menjadi seorang penulis bukanlah cita-cita atau mimpi besar yang sebenarnya bagiku. Tetapi, aku belum tahu apa cita-cita atau mimpi yang lebih besar dari menjadi seorang penulis yang terkenal. Inilah kehidupan. Kehidupan yang terus berputar. Tak pernah pandang bulu menggulung semua makhluk penghuninya. Tentunya hanya bisa bersyukur tanpa harus mengeluh.

“jadilah seperti apa yang kau inginkan”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar