Hanya
Sebatas Impian di Kertas
Angin bertiup menyapu hari yang redup, langit nampak
muram menahan beban. Setumpuk kertas yang berserakan di kamar membuat suasana
semakin tak menentu. Fikiran berkecampuk tak karuan membuat kepala serasa mau
pecah menahan beban hidup yang terasa sangat berat untuk dijalani. Terkadang
hidup ini tak semudah yang aku bayangkan selama ini. Sempat aku berfikir Tuhan
memang tak adil padaku, aku merasa, aku adalah orang yang paling susah dinegeri
ini. Tetapi ketika teringat seorang kakek renta berambut putih yang menggunakan
tongkatnya untuk berjalan. Hatiku seperti terketuk ketika beliau berpesan
kepadaku “Jangan pernah menyesali nasib, karena masih banyak hal yang
sesungguhnya perlu disyukuri”. Saat mendengar ucapan itu, perkataan itu
bagai gemuruh petir yang menyambar-nyambar di dadaku. Menyesakkan sekali. Aku
tersadar jika yang selama ini aku rasakan semuanya salah. “Benar yang dikatakan
oleh kakek itu” sesalku dalam hati.
Untuk
apa aku terus mengeluh tiada hasil. Lebih baik aku memikirkan apa yang telah
aku miliki dan menyusun kehidupanku sebaik mungkin. Aku sadar kehidupanku
mungkinlah masih tergolong lebih mudah dibandingkan dimana orang-orang kurang
beruntung diluar sana. Namun terlepas dari itu banyak hal yang bisa aku syukuri
dari kehidupanku.
Aku berdo’a sembari bersujud
“ya
Allah, ampuni aku yang telah banyak menghujat-Mu. Ampuni aku yang telah banyak
menuntut akan kehidupan ini, yang tak pernah puas akan yang telah Engkau
berikan kepadaku sampai-sampai aku melalaikan untuk bersyukur kepada-Mu. Ampuni
atas segala ke khilafan ini. Semata-mata hamba hanya mengharap ampunanmu.
Meletakkan kepala bersujud dihadapanmu, dengan perasaan rendah dan hina dina
ini. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui atas apa yang ada didepan dan
dibelakang, maka tunjukanlah hamba jalan yang terbaik untuk hamba. Bantulah
hamba dalam mencapai cita-cita hamba. Dan bantulah hamba dalam meraih
kebahagian hidup hamba di dunia dan akherat. Bimbing hamba ya Allah.
Sesungguhnya Engkau Maha Pengasih dan Maha Penyayang.”
Tanpa
sadar mataku mulai meneteskan air dari sudut mata yang tipis, saat aku bangun
dan duduk bersimpuh ditengah guratan kertas yang masih tercecer berantakan.
Kemudian aku duduk bersila, aku menarik nafas dalam-dalam, mengisi paru-paru
dengan udara untuk menguatkan diri. Pelan-pelan, aku hembuskan nafas, bagai
membuang beban. Mulut dan hatiku tak henti mengucap istighfar. Nama Allah aku
lafadzkan semampu bibir dan hati mengucapkan.[]
Dari awal aku telah terlahir ke dunia dengan berteman
sepi. Tiada hari yang menyenangkan yang pernah aku lalui. Bagiku, dunia ini
terlalu kejam. Sangat sepi untuk kehidupanku. Entah kenapa sebenarnya. Ini
bukan semata-mata karena aku tidak mempunyai teman bermain, keluarga, atau
orang lain. Akan tetapi yang menjadi penyebabnya ialah cara hidup yang aku lakoni
sedikit berbeda dengan kebanyakan orang pada umumnya. Bukan juga berarti
saya ini seorang autis, indigo atau orang yang mempunyai kelainan mental. Namun
terlepas dari hal itu, aku memang tidak sedikit menyukai hal keramaian apalagi
yang berbau foya-foya yang tidak menimbulkan manfaat. Aku lebih suka menyendiri
untuk menulis di lembaran kertas. Lembaran demi lembaran aku isi dengan coretan
tinta untuk mengisi dunia yang sepi ini. Aku memang tidak banyak mempunyai
teman karena aku sendiri tidak pandai bersosialisasi, mungkin ini adalah salah
satu kelemahanku. Tapi itu semua aku jalani dengan perasaan senang dan
mengalir. Ya seperti inilah karakterku. Aku tidak menyukai keramaian karena aku
punya mimpi. Mimpi menjadi seorang penulis terkenal. Terkadang aku sempat
bertanya pada diriku sendiri apakah hidup yang aku pilih ini benar?.
Menghindari orang lain hanya untuk merenung, menggagas ide untuk menulis sebuah
cerita maupun puisi. Hanya ketenangan dalam hidup yang aku cari. Bukan uang,
bukan barang atau yang lainnya. Aku hanya ingin menjadi seorang penulis karena
itu adalah mimpiku. Mimpi yang harus aku kejar dan harus aku wujudkan. Ya ini
diriku dan inilah aku apa adanya yang mungkin dipandang aneh oleh banyak orang.
“tok . .tok. .
.tok. . . “suara ketukan pintu menghancurkan lamunanku
“siapa ya ?”
“ini ibu nak,
ayo makan dulu”
“iya bu,
sebentar” akupun bergegas mengemasi kertas yang tercecer dan bergegas menuju
ruang makan.
Saat
sedang menyantap hidangan lamunanku kembali menghampiri fikiran. Lagi-lagi
teringat akan kehidupanku yang aku sendiri tak tentu mau kemana, padahal aku
sendiri sudah bertekat ingin menjadi seorang penulis. Namun lagi-lagi
keragu-raguan datang silih berganti. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Rene
Descartes bahwasanya manusia ialah tempatnya keragu-raguan.
Aku jadi
teringat akan waktu itu. Ya hari itu tepat hari selasa ketika aku pulang dari
sekolah. Hari itu hatiku seperti terbakar api neraka saat aku masuk kamar. aku
menyaksikan hal yang selama ini aku khawatirkan. Semua hasil karya tulisanku berantakan.
Berantakan bukan karena terkena angin atau karena ulahku yang sedang ingin
membaca-baca ulang semua tulisanku. Tetapi ini hal yang sangat menyakitkan.
Hasilku semua disobek-sobek, entah siapa yang telah melakukannya. Aku merasa
sangat terpukul karena begitu antusiasnya aku ingin menjadi seorang penulis.
Semua kertas itu ialah hasil buah fikirku selama ini, segala perasaan dan
curahan hati juga aku tuangkan semuanya didalam selembar kertas. Hingga
berlembar kertas terpenuhi oleh goresan tinta hitam.
Aku
mencoba mencari tahu siapa yang telah menyobek karya-karyaku. Akupun mulai
bertanya sama ibu. Dan ternyata benar dugaanku, bahwa ayahlah yang telah melakukannya.
Ayah memang tidak pernah setuju kalau aku menjadi seorang penulis. Beliau
selalu menyuruhku menuruti kemauannya. Dia selalu ingin aku menjadi seorang
pengusaha yang sukses. Tapi aku tidak pernah setuju akan pilihan dia. Karena
ini adalah mimpiku. Ini hidupku. Sudah seharusnya aku yang menentukan masa
depanku sendiri bukan lagi ayah atau siapapun. Cukup semua sudah diatur
olehnya, memang ayah terlalu diktator terhadap semua anaknya. Ahh entahlah
semua ini semakin membuatku bingung.[]
Aku sadar aku memang tidak pantas
mendapatkan semua itu. Ayah yang tidak pernah setuju akan mimpi-mimpiku tapi
aku tidak akan pernah menyerah untuk mewujudkan mimpi ini. Ya seperti inilah
kehidupanku yang selalu diselimuti dengan kesepian. Akan tetapi aku masih punya
dua teman. Teman yang selalu mendukungku disaat semua orang mulai menjauhiku.
Dan mereka berdualah yang selalu menemani dikesendirianku tanpa rasa lelah dan
mengeluh. Membaca dan menulis memang hal
yang tidak bisa terlepas dari kehidupanku, karena hanya dengan dua hal itulah aku dapat mencurahkan segenap
perasaan yang ada didalam hati maupun fikiran, hanya untuk mengusir kesepian
yang menjangkit dan menggerogoti tubuh ini. Memang sejak kecil aku telah
memulai kehidupan dan tumbuh dengan berteman sepi. Dan hal itu sempat membuatku
merasa tertekan dan membuat frustasi. Akan tetapi seiring berjalannya waktu aku
mulai menemukan jati diri. Lagi-lagi mereka berdualah yang menjadi teman luar
biasa yang dapat merubah hidupku menjadi lebih berwarna dan semangat. Mereka
lain daripada teman yang lain mereka selalu ada saat aku membutuhkannya, bahkan
disetiap tidurkupun mereka selalu menemani dan menjaga tidurku. Hingga suatu
saat aku menyebutnya sebagai best friend karena hanya mereka berdualah
yang selalu menemaniku dikala aku dirundung kesepian. Aku tak pernah merasa
curiga ataupun sangsi terhadap mereka karena aku sudah menganggapnya sebagai
bagian dalam hidupku. Mungkin inilah yang akan yang akan memberi semangat yang
akan menghantarkan diriku menjadi penulis terkenal. Dan mungkin ini terlalu
berlebihan adanya, namun hal ini merupakan sesuatu yang sangat luar biasa bagi
hidupku karena selama hidupku mereka telah menjadi seorang figur untukku.
Walaupun kenyataannya mereka itu tak pernah hidup dan hanya berwujud benda,
namun entah mengapa rasa ini melebihi pertemanan dengan sesama manusia. Tapi
kenyataannya mereka berdualah yang telah menghantarkanku menjadi seorang
penulis terkenal, karena kesungguhan yang aku miliki yang akhirnya dapat
menolong diriku sendiri.[]
Jika
perjalanan hidup adalah setelah mimpi tercapai, maka apakah aku sudah tiba
diujung perjalanan. Mimpiku itu seandainya menjadi seorang penulis, tak jauh
berbeda dengan mimpi orang-orang diluar sana. Bedanya hanya sejauh mana sepenuh
daya untuk berusaha meraih mimpi itu dan tak terhenti sampai benar-benar
meraihnya. Manakala mimpi itu sudah ku penuhi, anehnya, aku merasa ini bukan
akhir dari keinginan yang hendak aku
penuhi. Kini aku menatap langit ada sesuatu yang jauh lebih kuinginkan. Ya,
kasih sayang. Demikianlah, hari itu aku menyadari bahwa menjadi seorang penulis
bukanlah cita-cita atau mimpi besar yang sebenarnya bagiku. Tetapi, aku belum
tahu apa cita-cita atau mimpi yang lebih besar dari menjadi seorang penulis
yang terkenal. Inilah kehidupan. Kehidupan yang terus berputar. Tak pernah
pandang bulu menggulung semua makhluk penghuninya. Tentunya hanya bisa
bersyukur tanpa harus mengeluh.
“jadilah
seperti apa yang kau inginkan”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar