Hermeneutika Dialektis Hans George
Gadamer
Hermeneutika Gadamer adalah suatu respons terhadap
perkembangan metodologis hermeneutika dalam era modern. Sebagai suatu respons
metodologis, dia menghindari metodologisme mengenai penafsiran yang benar. Hermeneutikanya
berusaha mendiskripsikan apakah pemahaman itu sendiri yang menerangkan
kondisi-kondisi kemungkinannya, dan menggambarkan “apa yang terjadi pada kita”
dalam semua tindakan pemahaman.
Pemahaman tidaklah dipahami sebagai proses subyektif manusia
yang berlawanan dengan obyek, namun merupakan cara keberadaan manusia itu
sendiri; hermeneutika tidaklah dimaknai sebagai suatu disiplin pembantu yang
bersifat umum bagi kemanusiaan tetapi sebagai upaya filosofis untuk memandang
pemahaman sebagai sebuah proses ontologis dalam diri manusia.
Sekilas penting untuk memahami antara hermeneutika dialektis
Gadamer dan bentuk hermeneutika yang berorientasi pada metode dan metodologi.
Gadamer tidaklah secara langsung concern dengan problem-problem praktis
didalam memformulasikan prinsip-prinsip yang benar bagi interpretasi; lebih
dari itu, ia berkeinginan untuk menggiring fenomena pemahaman itu sendiri untuk
di cuatkan. Ini tidaklah berarti bahwa ia mengingkari pentingnnya
memformulasikan prinsip-prinsip tertentu; sebaliknya prinsip-prinsip tertentu
dipandangnya juga penting dalam disiplin interpretasi. Apa yang dimaksudkan
adalah bahwa Gadamer bekerja pada tataran mendasar dan pertanyaan-pertanyaan
yang lebih fundamental: bagaimana pemahaman dapat berlaku, tidak hanya dalam
hal-hal kemanusiaan namun juga dalam pengalaman dunia manusia secara
keseluruhan?. Inilah persoalan yang di pra-asumsikan dalam disiplin-disiplin
interpretasi historis yang telah melampaui jauh dibalik disiplin-disiplin
tersebut.
Menurut Gadamer, kebenaran diperoleh melalui proses
dialektika. Tujuan dari proses dialektika adalah menggelitik realitas yang
dijumpai, dalam hal ini teks, supaya mengungkapkan dirinya. Oleh karena
itu, dalam pandangan Gadamer, tugas hermeneutik adalah mengeluarkan teks dari
alienasinya, dan mengembalikannya ke dalam dialog yang riil dengan kehidupan
manusia di masa kini.
Menurut Gadamer, tujuan hermeneutik bukanlah menerapkan
berbagai macam aturan baku dan kaku untuk meraih pemahaman yang “benar
objektif”, tetapi untuk mendapatkan pemahaman seluas mungkin. Dengan demikian,
kunci untuk memahami bukan dengan cara memanipulasi atau menguasai, tetapi
dengan partisipasi dan keterbukaan; bukan dengan pengetahuan, tetapi dengan
pengalaman; dan bukan dengan metodologi, tetapi dengan dialektika. Dalam proses
dialektika, teks dan penafsir menjalani suatu keterbukaan satu sama lain
sehingga keduanya saling memberi dan menerima yang kemudian memungkinkan bagi
lahirnya pemahaman yang baru.
Struktur Pengalaman dan Pengalaman
Hermeneutis
Truth and Method menyatakan bahwa di wilayah
pengalaman manusia tentang dunia, terdapat kebenaran-kebenaran yang tak
tertanggulangi oleh metode-metode ilmiah ilmu pengetahuan modern. Disini, poin
terpentingnya bukanlah tentang adanya kebenaran-kebenaran lain yang terdapat
diluar jangkauan metode ilmiah, akan tetapi bahwa kebenaran-kebenaran yang di
klaim berbagai ilmu itu luruh kedalam keuniversalan “pengalaman hermeneutis”.
Keuniversalan ini tidak disimpulkan Gadamer secara empiris, akan tetapi dari
analisis fenomenologis atas pengalaman aktual manusia ketika memahami sesuatu.
Dari sini, lahirlah tesis bahwa setiap pemahaman dan teori pemahaman tidak akan
mengantarkan manusia pada “objek” dalam dirinya sendiri, sebab hakikat
pengalaman dan pemahaman adalah historis, dan oleh karena itu terbatas.
Gadamer mulai menguji pengalaman
hermeneutisnya dengan mengkritisi konsep pengalaman, dimana dia menemukan
konsep pengalaman yang ada terlalu berorientasi ke arah
pengetahuan sebagai bentuk perasaan dan pengetahuan sebagai jasad data
konseptual. Dengan
kata lain, kita saat ini cenderung mendefinisikan pengalaman dalam bentuk yang
sepenuhnya dan berorientasi kearah pengetahuan sains dan tidak mengindahkan
historisitas pengalaman dalam. Jika demikian halnya, kita secara tidak sadar
memenuhi tujuan ilmu, yaitu “mengobyektifkan pengalaman yang meniadakan ragam
persitiwa historis terhadapnya. Melalui kekakuan metodis, eksprementasi sains
menjadikan objek keluar dari peristiwa historisnya dan merestrukturisasikannya
untuk sesuai dengan metode.
Pengalaman hermeneutis merupakan penyingkapan kebenaran.
Kebenaran tidak harus dipahami sebagai korespondensi pernyataan terhadap
“fakta”; kebenaran merupakan kemunculan dinamis dari manusia untuk melihat
kenyataan. Kebenaran didasarkan pada negativitas; ini merupakan alasan bahwa
penemuan kebenaran menghasilkan yang terbaik ke dalam dialektika dimana
kekuatan negativitas dapat dijalankan. Kemunculan kebenaran didalam pengalaman
hermeneutis mendatangkan perjumpaan dengan negativitas yang instrinsik pada
pengalaman; pada kasus ini pengalaman menjadi seperti “momen estetik” atau
“even bahasa.” Kebenaran bukanlah konseptual, bukan fakta−itu yang terjadi.
Pengalaman, Gadamer menyatakan, memiliki penggabungan
dialektis “tidak dalam pengetahuan tetapi dalam keterbukaan pengalaman, yang
lahir dari ruang bebas pengalaman.” Jelasnya, pengalaman disini tidak
dimaksudkan untuk beragam pengetahuan informatif yang menjaga ini atau itu.
Seperti gadamer menggunakan term itu, ia tidak bersifat teknis dan keluar dari
kebiasaan. Ia menunjukkan pada non-obyektivitasi dan selebihnya akumulasi
“pemahaman” yang tidak bersifat obyektivasi yang kita sebut kearifan. Misalnya,
seseorang yang seluruh hidupnya terkait dengan masyarakat memperoleh kemampuan untuk
memahaminya, yang kita sebut “pengalaman”. Sementara pengalamnanya bukan
merupakan pengetahuan obyektif, ia masuk ke dalam interpretasi perjumpaan
dengan masyarakat. Tetapi, itu bukan kemampuan personal semata, itu merupakan
pengetahuan tentang cara sesuatu, ”pengetahuan tentang masyarakat” yang tidak
bisa diletakkan ke dalam term konseptual.
Pengalaman sering mendorong perasaan baru dan pemahaman
baru. Ia senantiasa dapat dipelajari, dan tak ada seorangpun yang dapat
menutupinya pada kita. Kita ingin menyelamatkan anak kita dari “pengalaman”
pahit yang kita sendiri mengalaminya, tetapi anak-anak kita itu tidak dapat
menghindar dari pengalaman itu sendiri, pengalaman merupakan sesuatu yang dimiliki bagi hakiki historis
manusia.
”Pengalaman”, kata Gadamer, ”merupakan persoalan kekecewaan kompleks (multiside
disillusionment) yang didasarkan pada dugaan (harapan); hanya dengan cara
inilah pengalaman dipelajari. Kenyataan bahwa “pengalaman” menyakitkan dan
pahit tidak sungguh merupakan pahit; marilah kita lihat ke dalam hakikat dalam
dari pengalaman itu. ” Negativitas dan kekecewaan adalah sesuatu yang integral
bagi pengalaman, disana nampak tak lebih dari hakikat eksisitensi momen
negatifitas historis manusia yang ditampakkan dalam hakikat pengalaman. ”Setiap
pengalaman bertentangan dengan harapan jika ia sungguh layak disebut
pengalaman”.
Ketika dalam pengalaman seseorang beranjak ke depan bersama
harapan, dan ketika pengalaman masa lalu mengajarkan rencana-rencana yang tidak
selesai, saat itu jelas terdapat struktur historisitas. “Pengalaman nyata”
menurut Gadamer, “merupakan pengalaman historisitas seseorang”. Dalam
pengalaman kekuasaan manusia untuk melakukan dan nalar rencananya timbul
berlawanan dengan keterbatasannya. Manusia, yang bergerak dan bertindak dalam
sejarah, memperoleh melalui pengalaman pengetahuan ke depan dimana harapan dan
rencana masih terbuka untuknya. Kedewasaan dalam pengalaman yang menempatkan
seseorang pada peluang itu sendiri untuk ke depan dan bagi masa lalu merupakan
esensi yang dimaksudkan Gadamer sebagai kesadaran operatif historis.
Dengan observasi dalam pikiran ini, kita dapat
mengkarakterisasi “pengalaman hermeneutis”, yang niscaya berkenaan dengan
sesuatu yang dihadapi sebagai warisan. Mengingat secara umum pengalaman merupakan
peristiwa, warisan seseorang “bukan peristiwa sepele yang dikenal orang
melalui pengalaman dan menjadi alat control; selebihnya ia merupakan bahasa,
yaitu, ia membicarakan, seperti dalam konsep Thou (kamu). Warisan bukan
sesuatu yang dapat dikontrol seseorang, atau ia merupakan suatu obyek terhadap
seseorang. Seseorang mulai memahaminya, sementara ia bergerak didalamnya,
sebagai pengalaman linguistik intrinsik. Seperti seseorang mengalami makna
teks, dia mulai memahami sebuah warisan yang sekilas mengarahkannya sebagai
sesuatu yang melawannya, namun sebagai sesuatu yang sekaligus merupakan bagian
dari sisi yang non-obyektif dari pengalaman dan historis dimana ia berpijak.
Teks yang dijumpai sebagai kamu tidak harus dipandang,
Gadamer menyatakan secara empati sebagai “ekspresi hidup”. Teks memiliki isi
makna spesifik selain dari seluruh hubungannya dengan perkataan seseorang. Apa
yang di maksud Gadamer dengan relasi Aku-Kamu untuk warisan adalah bahwa dalam
teks warisan mengarahkan dan menjadikan klaim bagi pembaca, bukan sebagai
sesuatu yang memungkinkan seseorang untuk berbicara. Teks harus dibiarkan
berbicara sendiri, pembaca terbuka kepadanya sebagi subyek dalam haknya
ketimbang sebagai obyek. Jelas keterbukaan otentik ini adalah apa yang baru
saja kita deskripsikan dalam kaitannya dengan struktur Aku-Kamu dari kesadaran
operatif historis
Struktur Aku-Kamu mendorong hubungan dialog atau dialektik.
Suatu pertanyaan di alamatkan pada teks, dan dalam pengertian yang lebih dalam,
teks mengalamatkan pertanyaan untuk penafsirannya. Struktur dialektis
pengalaman secara umum, dan pengalaman hermeneutis khususnya, merefleksikan
dirinya dalam struktur pertanyaan-jawaban dari semua kenyataan dialog. Namun
perlu diwaspadai bahaya dialektis dalam bentuk orang perorang ketimbang bentuk
persoalan-subyek. Signifikansi persoalan-subyek dalam dialog akan memunculkan
analisis penalaran berikut.
Struktur Penalaran Dalam Hermeneutik
Karakter pengalaman dialektis
direfleksikan dalam gerakan dan perjumpaanya dengan negativitas yang diperoleh
dalam seluruh kebenaran tindakan penalaran. Gadamer sejauh ini mengatakan bahwa
“dalam seluruh pengalaman, struktur penalaran di pra-anggapkan. Realisasi bahwa
beberapa hal adalah lain dari seseorang yang memiliki pemikiran awal mempra-anggapkan
proses pelampauan melalui tindakan penalaran. Keterbukaan pengalaman memiliki
strukutur pertanyaan: “Apakah ia demikian atau begitu?” Kita cermati bahwa
pengalaman memenuhi dirinya dalam realisasi keterbatasan dan historis kita.
Begitu halnya dalam tindakan penalaran, terdapat suatu benteng negativitas yang
utama, selalu merupakan pengetahuan dari tidak mengetahui.
Gadamer mengatakan bahwa secara
orisinil mengajukan pertanyaan berarti “menempatkan dalam keterbukaan”, karena
jawabannya belum ditentukan. Maka konsekuensinya, retorika pertanyaan bukanlah
suatu pertanyaan hakiki, karena tidak terdapat tindakan penalaran asli ketika
suatu dibicarakan tentang sesuatu yang sebenarnya tidak pernah “dipertanyakan.
Ketika seseorang mengetahui, ia sesungguhnya tidak mengetahui, dan ketika ia
tidak mengetahui untuk itu diperlukan suatu cara bahwa ia hanya butuh memahami
secara lebih mendalam dalam cara yang telah dipahaminya, dengan begitu
ia memperoleh struktur keterbukaan yang mencirikan tindakan penalaran yang
otentik.
Dengan begitu, dalam dialog
hermeneutis subyek umum dimana seseorang meleburkan dirinya−baik interpreter
maupun teks itu sendiri−merupakan tradisi, warisan budaya. Bagaimanapun,
partner seseorang dalam dialog adalah teks, sudah ada dalam fiksasi bentuk
tertulis. Dengan demikian, terdapat suatu kebutuhan untuk menemukan suatu cara
bagi dialog give and take. Inilah tugas hermeneutika. Bagaimanapun juga,
formulasi yang sudah disesuaikan harus diletakkan balik dalam gerakan
percakapan, suatu gerakan dimana teks mempertanyakan penafsir dan penafsir
mempertanyakan teks tersebut. Tugas hermeneutika adalah “membawa teks keluar
dari alienasi dimana ia mendapatkan dirinya (sebagai bentuk tertulis) kembali
kedalam suasana kekinian dialog yang hidup, dimana pemenuhan primordialnya
adalah dengan pertanyaan dan jawaban.
Ketika teks di transmisikan menjadi
sebuah obyek bagi interpretasi, ia menempatkan suatu pertanyaan bagi penafsir
dimana ia mencoba untuk menjawabnya melalui interpretasi. Interpretasi yang otentik
akan mengaitkannya dengan pertanyaan “yang di tempatkan” oleh teks (teks
memiliki sebuah tempat dan sebuah subyek). Menafsir suatu teks, syarat pertama
adalah memahami horizon makna atau horizon penalaran dimana petunjuk makna teks
di determinasi.
Namun teks itu sendiri merupakan suatu pertanyaan. Dalam
pengertian ia merupakan jawaban dari pertanyaan−bukan pertanyaan yang kita
letakkan padanya. Sekarang seandainya seseorang memahami teks dalam bentuk
pertanyaan yang dijawabnya, itu jelas bahwa seseorang harus mencari dengan
menelisik dibalik teks agar dapat menafsirkannya. Seseorang tidak harus puas
dengan penerjemahan yang lebih eksplisit dari apa yang eksplisit didalam teks;
teks harus ditempatkan dalam horizon pertanyaan yang ingin digiring ke dalam keberadaan.
Di saat perjumpaan dengan horizon teks dalam realitas
menyinari horizon seseorang itu dan melahirkan penyingkapan diri dan pemahaman
diri; maka perjumpaan itu menjadi suatu momen bagi penyingkapan ontologis. Ini
merupakan sebuah peristiwa dimana sesuatu muncul dari negativitas−negativitas
sadar bahwa terdapat sesuatu yang seseorang tidak mengetahuinya, bahwa sesuatu
bukanlah seperti yang orang asumsikan.
Kemungkinan yang dapat diterima, menurut Gadamer, adalah
peleburan bahasa. Proses peleburan bahasa inilah yang memungkinkan teks
mengatakan sesuatu dan mengalamatkannya pada kita. Teks akan terdengar bila
kita dibiarkan berbicara melalui interpretasi. Akan tetapi, tidak ada teks atau
buku yang akan terdengar jika dia tidak berbicara dengan bahasa yang bisa
dicapai dan dapat dipahami oleh lawan bicaranya (penafsir). Sia-sia saja sebuah
teks jika dia tidak “nyambung” dengan telinga pembaca. Pendengaran baru berarti
jika yang terdengar bisa dicerna, dan hal ini mensyaratkan apa yang terdengar
adalah bahasa si pendengar. Jika tidak demikian, apa yang terdengar itu tidak
lebih dari sekedar bebunyian belaka. Ketika yang terdengar adalah bahasa asing
dan agar bahasa ini tidak menjadi sekedar bebunyian, dibutuhkanlah penerjemahan
yang didasarkan pada peleburan bahasa.
Peleburan cakrawala lewat peleburan bahasa teks dengan
bahasa penafsir ini secara tidak langsung memperlihatkan bahwa interpretasi
tidak ada yang benar “dalam dirinya sendiri”. Mediasi yang terjadi lewat bahasa
membuat pemahaman bisa berubah, karena walaupun teks adalah sesuatu yang mapan
(fixed), namun eksistensi makna yang ada didalamnya baru abash ketika
dibaca dan ditafsirkan menggunakan bahasa sekarang, dan tentu saja pembacaannya
akan selalu berbeda. Eksistensi makna ditentukan oleh pembaca ini. Ketika waktu
berubah, dan penafsiran lama tidak lagi “berbunyi”, maka yang diperlukan adalah
pembacaan baru yang akan melahirkan pemahaman dan interpretasi yang baru pula.
Menurut Gadamer, interpretasi yang bagus adalah interpretasi
yang transparan dan tidak dapat lagi dibedakan dengan apa yang ditafsirkan.
Paradoksnya, tanda kemunculan interpretasi justru terletak pada kenyataan bahwa
dia akan ditindih oleh munculnya interpretasi-interpretasi yang baru.