Translate

Selasa, 12 April 2016

Hermeneutika Dialektis Hans-George Gadamer

Hermeneutika Dialektis Hans George Gadamer

Hermeneutika Gadamer adalah suatu respons terhadap perkembangan metodologis hermeneutika dalam era modern. Sebagai suatu respons metodologis, dia menghindari metodologisme mengenai penafsiran yang benar. Hermeneutikanya berusaha mendiskripsikan apakah pemahaman itu sendiri yang menerangkan kondisi-kondisi kemungkinannya, dan menggambarkan “apa yang terjadi pada kita” dalam semua tindakan pemahaman.
Pemahaman tidaklah dipahami sebagai proses subyektif manusia yang berlawanan dengan obyek, namun merupakan cara keberadaan manusia itu sendiri; hermeneutika tidaklah dimaknai sebagai suatu disiplin pembantu yang bersifat umum bagi kemanusiaan tetapi sebagai upaya filosofis untuk memandang pemahaman sebagai sebuah proses ontologis dalam diri manusia.
Sekilas penting untuk memahami antara hermeneutika dialektis Gadamer dan bentuk hermeneutika yang berorientasi pada metode dan metodologi. Gadamer tidaklah secara langsung concern dengan problem-problem praktis didalam memformulasikan prinsip-prinsip yang benar bagi interpretasi; lebih dari itu, ia berkeinginan untuk menggiring fenomena pemahaman itu sendiri untuk di cuatkan. Ini tidaklah berarti bahwa ia mengingkari pentingnnya memformulasikan prinsip-prinsip tertentu; sebaliknya prinsip-prinsip tertentu dipandangnya juga penting dalam disiplin interpretasi. Apa yang dimaksudkan adalah bahwa Gadamer bekerja pada tataran mendasar dan pertanyaan-pertanyaan yang lebih fundamental: bagaimana pemahaman dapat berlaku, tidak hanya dalam hal-hal kemanusiaan namun juga dalam pengalaman dunia manusia secara keseluruhan?. Inilah persoalan yang di pra-asumsikan dalam disiplin-disiplin interpretasi historis yang telah melampaui jauh dibalik disiplin-disiplin tersebut.
Menurut Gadamer, kebenaran diperoleh melalui proses dialektika. Tujuan dari proses dialektika adalah menggelitik realitas yang dijumpai, dalam hal ini teks, supaya mengungkapkan dirinya. Oleh karena itu, dalam pandangan Gadamer, tugas hermeneutik adalah mengeluarkan teks dari alienasinya, dan mengembalikannya ke dalam dialog yang riil dengan kehidupan manusia di masa kini.
Menurut Gadamer, tujuan hermeneutik bukanlah menerapkan berbagai macam aturan baku dan kaku untuk meraih pemahaman yang “benar objektif”, tetapi untuk mendapatkan pemahaman seluas mungkin. Dengan demikian, kunci untuk memahami bukan dengan cara memanipulasi atau menguasai, tetapi dengan partisipasi dan keterbukaan; bukan dengan pengetahuan, tetapi dengan pengalaman; dan bukan dengan metodologi, tetapi dengan dialektika. Dalam proses dialektika, teks dan penafsir menjalani suatu keterbukaan satu sama lain sehingga keduanya saling memberi dan menerima yang kemudian memungkinkan bagi lahirnya pemahaman yang baru.
Struktur Pengalaman dan Pengalaman Hermeneutis
Truth and Method menyatakan bahwa di wilayah pengalaman manusia tentang dunia, terdapat kebenaran-kebenaran yang tak tertanggulangi oleh metode-metode ilmiah ilmu pengetahuan modern. Disini, poin terpentingnya bukanlah tentang adanya kebenaran-kebenaran lain yang terdapat diluar jangkauan metode ilmiah, akan tetapi bahwa kebenaran-kebenaran yang di klaim berbagai ilmu itu luruh kedalam keuniversalan “pengalaman hermeneutis”. Keuniversalan ini tidak disimpulkan Gadamer secara empiris, akan tetapi dari analisis fenomenologis atas pengalaman aktual manusia ketika memahami sesuatu. Dari sini, lahirlah tesis bahwa setiap pemahaman dan teori pemahaman tidak akan mengantarkan manusia pada “objek” dalam dirinya sendiri, sebab hakikat pengalaman dan pemahaman adalah historis, dan oleh karena itu terbatas.
Gadamer mulai menguji pengalaman hermeneutisnya dengan mengkritisi konsep pengalaman, dimana dia menemukan konsep pengalaman yang ada terlalu berorientasi ke arah pengetahuan sebagai bentuk perasaan dan pengetahuan sebagai jasad data konseptual. Dengan kata lain, kita saat ini cenderung mendefinisikan pengalaman dalam bentuk yang sepenuhnya dan berorientasi kearah pengetahuan sains dan tidak mengindahkan historisitas pengalaman dalam. Jika demikian halnya, kita secara tidak sadar memenuhi tujuan ilmu, yaitu “mengobyektifkan pengalaman yang meniadakan ragam persitiwa historis terhadapnya. Melalui kekakuan metodis, eksprementasi sains menjadikan objek keluar dari peristiwa historisnya dan merestrukturisasikannya untuk sesuai dengan metode.
Pengalaman hermeneutis merupakan penyingkapan kebenaran. Kebenaran tidak harus dipahami sebagai korespondensi pernyataan terhadap “fakta”; kebenaran merupakan kemunculan dinamis dari manusia untuk melihat kenyataan. Kebenaran didasarkan pada negativitas; ini merupakan alasan bahwa penemuan kebenaran menghasilkan yang terbaik ke dalam dialektika dimana kekuatan negativitas dapat dijalankan. Kemunculan kebenaran didalam pengalaman hermeneutis mendatangkan perjumpaan dengan negativitas yang instrinsik pada pengalaman; pada kasus ini pengalaman menjadi seperti “momen estetik” atau “even bahasa.” Kebenaran bukanlah konseptual, bukan fakta−itu yang terjadi.
Pengalaman, Gadamer menyatakan, memiliki penggabungan dialektis “tidak dalam pengetahuan tetapi dalam keterbukaan pengalaman, yang lahir dari ruang bebas pengalaman.” Jelasnya, pengalaman disini tidak dimaksudkan untuk beragam pengetahuan informatif yang menjaga ini atau itu. Seperti gadamer menggunakan term itu, ia tidak bersifat teknis dan keluar dari kebiasaan. Ia menunjukkan pada non-obyektivitasi dan selebihnya akumulasi “pemahaman” yang tidak bersifat obyektivasi yang kita sebut kearifan. Misalnya, seseorang yang seluruh hidupnya terkait dengan masyarakat memperoleh kemampuan untuk memahaminya, yang kita sebut “pengalaman”. Sementara pengalamnanya bukan merupakan pengetahuan obyektif, ia masuk ke dalam interpretasi perjumpaan dengan masyarakat. Tetapi, itu bukan kemampuan personal semata, itu merupakan pengetahuan tentang cara sesuatu, ”pengetahuan tentang masyarakat” yang tidak bisa diletakkan ke dalam term konseptual.
Pengalaman sering mendorong perasaan baru dan pemahaman baru. Ia senantiasa dapat dipelajari, dan tak ada seorangpun yang dapat menutupinya pada kita. Kita ingin menyelamatkan anak kita dari “pengalaman” pahit yang kita sendiri mengalaminya, tetapi anak-anak kita itu tidak dapat menghindar dari pengalaman itu sendiri, pengalaman merupakan sesuatu yang dimiliki bagi hakiki historis manusia. ”Pengalaman”, kata Gadamer, ”merupakan persoalan kekecewaan kompleks (multiside disillusionment) yang didasarkan pada dugaan (harapan); hanya dengan cara inilah pengalaman dipelajari. Kenyataan bahwa “pengalaman” menyakitkan dan pahit tidak sungguh merupakan pahit; marilah kita lihat ke dalam hakikat dalam dari pengalaman itu. ” Negativitas dan kekecewaan adalah sesuatu yang integral bagi pengalaman, disana nampak tak lebih dari hakikat eksisitensi momen negatifitas historis manusia yang ditampakkan dalam hakikat pengalaman. ”Setiap pengalaman bertentangan dengan harapan jika ia sungguh layak disebut pengalaman”.
Ketika dalam pengalaman seseorang beranjak ke depan bersama harapan, dan ketika pengalaman masa lalu mengajarkan rencana-rencana yang tidak selesai, saat itu jelas terdapat struktur historisitas. “Pengalaman nyata” menurut  Gadamer, “merupakan pengalaman historisitas seseorang”. Dalam pengalaman kekuasaan manusia untuk melakukan dan nalar rencananya timbul berlawanan dengan keterbatasannya. Manusia, yang bergerak dan bertindak dalam sejarah, memperoleh melalui pengalaman pengetahuan ke depan dimana harapan dan rencana masih terbuka untuknya. Kedewasaan dalam pengalaman yang menempatkan seseorang pada peluang itu sendiri untuk ke depan dan bagi masa lalu merupakan esensi yang dimaksudkan Gadamer sebagai kesadaran operatif historis.
Dengan observasi dalam pikiran ini, kita dapat mengkarakterisasi “pengalaman hermeneutis”, yang niscaya berkenaan dengan sesuatu yang dihadapi sebagai warisan. Mengingat secara umum pengalaman merupakan peristiwa, warisan seseorang “bukan peristiwa sepele yang dikenal orang melalui pengalaman dan menjadi alat control; selebihnya ia merupakan bahasa, yaitu, ia membicarakan, seperti dalam konsep Thou (kamu). Warisan bukan sesuatu yang dapat dikontrol seseorang, atau ia merupakan suatu obyek terhadap seseorang. Seseorang mulai memahaminya, sementara ia bergerak didalamnya, sebagai pengalaman linguistik intrinsik. Seperti seseorang mengalami makna teks, dia mulai memahami sebuah warisan yang sekilas mengarahkannya sebagai sesuatu yang melawannya, namun sebagai sesuatu yang sekaligus merupakan bagian dari sisi yang non-obyektif dari pengalaman dan historis dimana ia berpijak.
Teks yang dijumpai sebagai kamu tidak harus dipandang, Gadamer menyatakan secara empati sebagai “ekspresi hidup”. Teks memiliki isi makna spesifik selain dari seluruh hubungannya dengan perkataan seseorang. Apa yang di maksud Gadamer dengan relasi Aku-Kamu untuk warisan adalah bahwa dalam teks warisan mengarahkan dan menjadikan klaim bagi pembaca, bukan sebagai sesuatu yang memungkinkan seseorang untuk berbicara. Teks harus dibiarkan berbicara sendiri, pembaca terbuka kepadanya sebagi subyek dalam haknya ketimbang sebagai obyek. Jelas keterbukaan otentik ini adalah apa yang baru saja kita deskripsikan dalam kaitannya dengan struktur Aku-Kamu dari kesadaran operatif historis
Struktur Aku-Kamu mendorong hubungan dialog atau dialektik. Suatu pertanyaan di alamatkan pada teks, dan dalam pengertian yang lebih dalam, teks mengalamatkan pertanyaan untuk penafsirannya. Struktur dialektis pengalaman secara umum, dan pengalaman hermeneutis khususnya, merefleksikan dirinya dalam struktur pertanyaan-jawaban dari semua kenyataan dialog. Namun perlu diwaspadai bahaya dialektis dalam bentuk orang perorang ketimbang bentuk persoalan-subyek. Signifikansi persoalan-subyek dalam dialog akan memunculkan analisis penalaran berikut.
Struktur Penalaran Dalam Hermeneutik
Karakter pengalaman dialektis direfleksikan dalam gerakan dan perjumpaanya dengan negativitas yang diperoleh dalam seluruh kebenaran tindakan penalaran. Gadamer sejauh ini mengatakan bahwa “dalam seluruh pengalaman, struktur penalaran di pra-anggapkan. Realisasi bahwa beberapa hal adalah lain dari seseorang yang memiliki pemikiran awal mempra-anggapkan proses pelampauan melalui tindakan penalaran. Keterbukaan pengalaman memiliki strukutur pertanyaan: “Apakah ia demikian atau begitu?” Kita cermati bahwa pengalaman memenuhi dirinya dalam realisasi keterbatasan dan historis kita. Begitu halnya dalam tindakan penalaran, terdapat suatu benteng negativitas yang utama, selalu merupakan pengetahuan dari tidak mengetahui.
Gadamer mengatakan bahwa secara orisinil mengajukan pertanyaan berarti “menempatkan dalam keterbukaan”, karena jawabannya belum ditentukan. Maka konsekuensinya, retorika pertanyaan bukanlah suatu pertanyaan hakiki, karena tidak terdapat tindakan penalaran asli ketika suatu dibicarakan tentang sesuatu yang sebenarnya tidak pernah “dipertanyakan. Ketika seseorang mengetahui, ia sesungguhnya tidak mengetahui, dan ketika ia tidak mengetahui untuk itu diperlukan suatu cara bahwa ia hanya butuh memahami secara lebih mendalam dalam cara yang telah dipahaminya, dengan begitu ia memperoleh struktur keterbukaan yang mencirikan tindakan penalaran yang otentik.
Dengan begitu, dalam dialog hermeneutis subyek umum dimana seseorang meleburkan dirinya−baik interpreter maupun teks itu sendiri−merupakan tradisi, warisan budaya. Bagaimanapun, partner seseorang dalam dialog adalah teks, sudah ada dalam fiksasi bentuk tertulis. Dengan demikian, terdapat suatu kebutuhan untuk menemukan suatu cara bagi dialog give and take. Inilah tugas hermeneutika. Bagaimanapun juga, formulasi yang sudah disesuaikan harus diletakkan balik dalam gerakan percakapan, suatu gerakan dimana teks mempertanyakan penafsir dan penafsir mempertanyakan teks tersebut. Tugas hermeneutika adalah “membawa teks keluar dari alienasi dimana ia mendapatkan dirinya (sebagai bentuk tertulis) kembali kedalam suasana kekinian dialog yang hidup, dimana pemenuhan primordialnya adalah dengan pertanyaan dan jawaban.
Ketika teks di transmisikan menjadi sebuah obyek bagi interpretasi, ia menempatkan suatu pertanyaan bagi penafsir dimana ia mencoba untuk menjawabnya melalui interpretasi. Interpretasi yang otentik akan mengaitkannya dengan pertanyaan “yang di tempatkan” oleh teks (teks memiliki sebuah tempat dan sebuah subyek). Menafsir suatu teks, syarat pertama adalah memahami horizon makna atau horizon penalaran dimana petunjuk makna teks di determinasi.
Namun teks itu sendiri merupakan suatu pertanyaan. Dalam pengertian ia merupakan jawaban dari pertanyaan−bukan pertanyaan yang kita letakkan padanya. Sekarang seandainya seseorang memahami teks dalam bentuk pertanyaan yang dijawabnya, itu jelas bahwa seseorang harus mencari dengan menelisik dibalik teks agar dapat menafsirkannya. Seseorang tidak harus puas dengan penerjemahan yang lebih eksplisit dari apa yang eksplisit didalam teks; teks harus ditempatkan dalam horizon pertanyaan yang ingin digiring ke dalam keberadaan.
Di saat perjumpaan dengan horizon teks dalam realitas menyinari horizon seseorang itu dan melahirkan penyingkapan diri dan pemahaman diri; maka perjumpaan itu menjadi suatu momen bagi penyingkapan ontologis. Ini merupakan sebuah peristiwa dimana sesuatu muncul dari negativitas−negativitas sadar bahwa terdapat sesuatu yang seseorang tidak mengetahuinya, bahwa sesuatu bukanlah seperti yang orang asumsikan.
Kemungkinan yang dapat diterima, menurut Gadamer, adalah peleburan bahasa. Proses peleburan bahasa inilah yang memungkinkan teks mengatakan sesuatu dan mengalamatkannya pada kita. Teks akan terdengar bila kita dibiarkan berbicara melalui interpretasi. Akan tetapi, tidak ada teks atau buku yang akan terdengar jika dia tidak berbicara dengan bahasa yang bisa dicapai dan dapat dipahami oleh lawan bicaranya (penafsir). Sia-sia saja sebuah teks jika dia tidak “nyambung” dengan telinga pembaca. Pendengaran baru berarti jika yang terdengar bisa dicerna, dan hal ini mensyaratkan apa yang terdengar adalah bahasa si pendengar. Jika tidak demikian, apa yang terdengar itu tidak lebih dari sekedar bebunyian belaka. Ketika yang terdengar adalah bahasa asing dan agar bahasa ini tidak menjadi sekedar bebunyian, dibutuhkanlah penerjemahan yang didasarkan pada peleburan bahasa.
Peleburan cakrawala lewat peleburan bahasa teks dengan bahasa penafsir ini secara tidak langsung memperlihatkan bahwa interpretasi tidak ada yang benar “dalam dirinya sendiri”. Mediasi yang terjadi lewat bahasa membuat pemahaman bisa berubah, karena walaupun teks adalah sesuatu yang mapan (fixed), namun eksistensi makna yang ada didalamnya baru abash ketika dibaca dan ditafsirkan menggunakan bahasa sekarang, dan tentu saja pembacaannya akan selalu berbeda. Eksistensi makna ditentukan oleh pembaca ini. Ketika waktu berubah, dan penafsiran lama tidak lagi “berbunyi”, maka yang diperlukan adalah pembacaan baru yang akan melahirkan pemahaman dan interpretasi yang baru pula.

Menurut Gadamer, interpretasi yang bagus adalah interpretasi yang transparan dan tidak dapat lagi dibedakan dengan apa yang ditafsirkan. Paradoksnya, tanda kemunculan interpretasi justru terletak pada kenyataan bahwa dia akan ditindih oleh munculnya interpretasi-interpretasi yang baru.

Ki Hajar Dewantara dan Dunia Pendidikan

I. Pendahuluan
            Ki Hajar Dewantara adalah salah satu tokoh pendidikan yang sangat berpengaruh di Indonesia. Ajaran-ajaran yang dikemukakan oleh beliau khususnya dalam bidang pendidikan telah mengispirasi berbagai pihak yang berkecimpung di dalamya. Dalam makalah berikut, penulis mencoba merangkum berbagai tulisan mengenai Ki Hajar Dewantara dan ajaran-ajarannya yang disadur dari tiga diantara sepuluh URL di bawah ini;
1.      http://yayasansoebono.org/ki-hajar-dewantara-pengabdian-dan-buah pemikirannya-untuk-pendidikan-bangsa
2.      http://eprints.uny.ac.id/7371/1/p-16.pdf
3.      http://netoksawijirusnoto.blogspot.com/2012/07/kontekstualitas-pilar-pilar-pemikiran.html
4.  http://www.infodiknas.com/206-pengaruh-ajaran-tamansiswa-terhadap-pendidikan-indonesia.html
5.      http://download.portalgaruda.org/article.php?article=47313&val=3914
6.      http://repository.library.uksw.edu/bitstream/handle/123456789/564/T1_152008025_Daftar%20Pustaka.pdf?sequence=7
7.      http://forum.viva.co.id/tokoh/874970-jasa-ki-hajar-dewantara-bagi-pendidikan-indonesia.html
8.      http://journal.uny.ac.id/index.php/jk/article/download/209/132
9.      lib.uin-malang.ac.id/files/thesis/.../05110142.pdf
10.  http://www.ilmupendidikan.net/2011/03/11/ranah-olah-pikir-ki-hajar-dewantara.php‎

II. Isi

A. Biografi Singkat
            Suwardi Suryaningrat atau yang lebih dikenal dengan Ki Hajar Dewantara lahir pada tanggal 2 Mei 1889 di Yogyakarta. Ia berasal dari lingkungan keluarga kraton Yogyakarta. Beliau adalah aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis, politisi, dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi indonesia dari zaman penjajahan Belanda. Ia adalah pendiri Perguruan Taman Siswa, suatu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda. Pernah ia di buang ke negeri Belanda oleh pemerintah Belanda dari tanggal 6 September 1913 sampai dengan 5 September 1919, karena kritik pedasnya pada pemerintah Hindia Belanda saat itu. Karena pengabdian dan prestasinya yang besar dalam bidang pendidikan, beliau menjadi menteri pendidikan Indonesia yang pertama pada tahun 1956 di era pemerintahan Soekarno. Beliau wafat pada tanggal 26 April 1959 dan dimakamkan dengan pemakaman negara secara militer serta diangkat menjadi Perwira Tinggi oleh pemerintah. Beliau kini dikenang sebagai Bapak Pendidikan bangsa Indonesia. Dan pemerintah Republik Indonesia kemudian menetapkan hari lahirnya, tanggal 2 Mei sebagai Hari Pendidikan Nasional.

B. Prinsip Dasar Pendidikan Ki Hajar Dewantara
            Menurut Ki Hajar Dewantara, mendidik dalam arti yang sesungguhnya adalah proses memanusiakan manusia (humanisasi), yakni pengangkatan manusia ke taraf insani. Di dalam mendidik, ada pembelajaran yang merupakan komunikasi eksistensi manusiawi yang otentik kepada manusia, untuk dimiliki, dilanjutkan dan disempurnakan. Jadi sesungguhnya pendidikan adalah usaha bangsa ini membawa manusia Indonesia keluar dari kebodohan, dengan membuka tabir aktual-transenden dari sifat alami manusia (humanis).
            Menurut Ki Hajar Dewantara, tujuan pendidikan adalah “penguasaan diri” sebab di sinilah pendidikan memanusiawikan manusia (humanisasi). Penguasaan diri merupakan langkah yang harus dituju untuk tercapainya pendidikan yang mamanusiawikan manusia. Ketika setiap peserta didik mampu menguasai dirinya, mereka akan mampu juga menentukan sikapnya. Dengan demikian akan tumbuh sikap yang mandiri dan dewasa.
            Dalam konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara, ada 2 hal yang harus dibedakan yaitu sistem “Pengajaran” dan “Pendidikan” yang harus bersinergis satu sama lain.  Pengajaran bersifat memerdekakan manusia dari aspek hidup lahiriah (kemiskinan dan kebodohan). Sedangkan pendidikan lebih memerdekakan manusia dari aspek hidup batin (otonomi berpikir dan mengambil keputusan, martabat, mentalitas demokratik).
Teori Trikon
            Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara merupakan proses pembudayaan yakni suatu usaha memberikan nilai-nilai luhur kepada generasi baru dalam masyarakat yang tidak hanya bersifat pemeliharaan tetapi juga dengan maksud memajukan serta memperkembangkan kebudayaan menuju kearah keluhuran budaya manusia. Upaya kebudayaan (pendidikan) dapat ditempuh dengan sikap (laku) yang dikenal dengan teori Trikon, yaitu
  1. Kontinuitas yang berarti bahwa garis hidup kita sekarang harus merupakan lanjutan dari kehidupan kita pada zaman lampau berikut penguasaan unsur tiruan dari kehidupan dan kebudayaan bangsa lain.
  2. Konvergensi, yaitu berarti kita harus menghindari hidup menyendiri, terisolasi dan mampu menuju kearah pertemuan antar bangsa dan komunikasi antar negara menuju kemakmuran bersama atas dasar saling menghormati, persamaam hak, dan kemerdekaan masing-masing.
  3. Konsentris, yang berarti setelah kita bersatu dan berkomunukasi dengan bangsa-bangsa lain di   dunia, kita jangan kehilangan kepribadian sendiri. Bangsa Indonesia adalah masyarakat merdeka yang memiliki adat istiadat dan kepribadian sendiri. Meskipun kita bertitik pusat satu, namun dalam lingkaran yang konsentris itu kita masih tetap memiliki lingkaran sendiri yang khas yang membedakan Negara kita dengan Negara lain.

Tri Sentra Pendidikan
Pelaksanaan pendidikan menurut Ki Hajar Dewantoro dapat berlangsung dalam berbagai tempat yang oleh beliau diberinama Tri Sentra Pendidikan, yakni :
a.       Keluarga buat mendidik budi pekerti dan laku sosial
b.      Perguruan, sebagai balai-wiyata, yaitu buat usaha mencari dan memberikan ilmu pengetahuan, di samping pendidikan intelek
c.       Pergerakan pemuda, sebagai daerah merdekanya kaum muda atau “kerajaan pemuda”, untuk melakukan penguasa diri, yang amat perlunya buat pembentukan watak. (h. 74)

C. Konsep-Konsep Dasar Pengajaran Ki hajar Dewantoro

a. Sistem Among
            Metode yang  sesuai dengan sistem pendidikan ini adalah sistem among yaitu metode pengajaran dan pendidikan yang berdasarkan pada asih, asah dan asuh (care and dedication based on love). Yang dimaksud dengan manusia merdeka adalah seseorang yang mampu berkembang secara utuh dan selaras dari segala aspek kemanusiaannya dan yang mampu menghargai dan menghormati kemanusiaan setiap orang. Oleh karena itu bagi Ki Hajar Dewantara pepatah ini sangat tepat yaitu “educate the head, the heart, and the hand”.
            Pendidikan sistem Among bersendikan pada dua hal yaitu: kodrat alam sebagai syarat untuk menghidupkan dan mencapai kemajuan dengan secepat-cepatnya dan kemerdekaan sebagai syarat untuk menghidupkan dan menggerakkan kekuatan lahir dan batin anak hingga dapat hidup mandiri. Sistem Among sering dikaitkan dengan asas yang berbunyi: Tut Wuri Handayani, Ing madya mangun karsa, Ing ngarso sung tuladha. Asas ini telah banyak dikenal oleh masyarakat daripada Sistem Among sendiri, karena banyak dari anggota masyarakat yang belum memahaminya. Sistem Among berasal dari bahasa Jawa yaitu mong atau momong, yang artinya mengasuh anak. Para guru atau dosen disebut pamong yang bertugas untuk mendidik dan mengajar anak sepanjang waktu dengan kasih sayang
            Dalam sikap Momong, Among, dan Ngemong, terkandung nilai yang sangat mendasar, yaitu pendidikan tidak memaksa namun bukan berarti membiarkan anak berkembang bebas tanp arah. Metode Among mempunyai pengertian menjaga, membina dan mendidik anak dengan kasih sayang.
b. Tri Sakti Jiwa
Salah satu konsep budaya Ki Hajar Dewantoro dikenal dengan  ”Konsep Trisakti Jiwa” yang terdiri dari cipta, rasa, dan karsa. Maksudnya, untuk melaksanakan segala sesuatu maka harus ada kombinasi yang sinergis antara hasil olah pikir, hasil olah rasa, serta motivasi yang kuat di dalam dirinya. kalau untuk melaksanakan segala sesuatu itu hanya mengandalkan salah satu diantaranya saja maka kemungkinan akan tidak berhasil.

Ajaran-ajaran Karakter dan Budaya Ki Hajar Dewantara
a. Trihayu
            Selain yang sudah disebutkan di atas, konsep pengembangan budaya Ki Hajar dikenal dengan ”Konsep Trihayu” yang terdiri dari mamayu hayuning sarira, mamayu hayuning bangsa, dan mamayu hayuning bawana. Maksudnya, apapun yang diperbuat oleh seseorang itu hendaknya dapat bermanfaat bagi dirinya sendiri, bermanfaat bagi bangsa, dan bermanfaat bagi manusia di dunia pada umumnya. Kalau perbuatan seseorang hanya menguntungkan dirinya saja maka akan terjadi sesuatu yang sangat individualistik.
b. Trilogi Kepemimpinan
            Dan yang menjadi semboyan pendidikan sampai saat ini adalah ”Konsep Trilogi Kepemimpinan” yang terdiri dari Ing Ngarsa Sung Taladha, Ing Madya Mangun Karsa, dan Tut Wuri Handayani. Maksudnya, ketika berada di depan harus mampu menjadi teladan, ketika berada di tengah-tengah harus mampu membangun semangat, dan ketika berada di belakang harus mampu mendorong orang-orang dan pihak-pihak yang dipimpinya.
c. Tripantang
            Konsepsi kebudayaan Ki Hajar yang sangat moralis tertuang dalam ”Konsep Tripantang” yang terdiri dari pantang harta, praja, dan wanita. Maksudnya, kita dilarang menggunakan harta orang lain secara tidak benar (misal korupsi), menyalakangunakan jabatan (misal kolusi), dan bermain wanita (misal menyeleweng). Ketiga pantangan ini hendaknya tidak dilanggar.

D. Fungsi Pendidikan menurut KHD
            Dalam kaitannya dengan fungsi pendidikan, KHD membagi watak manusia menjadi dua bagian, yaitu bagian yang intelligebel dan bagian biologis. Bagian intelligebel adalah watak yang berhubungan dengan kecerdasan angan-angan atau fikiran (intelek). Bagian inilah yang dapat dipengaruhi oleh pendidikan dan lingkungan, seperti kelemahan fikiran, kebodohan, kurangnya wawasan, kurang cepat berpikir, dll. Melalui upaya pendidikan, bagian intelligebel anak dapat dikembangkan sehingga anak memiliki kemampuan berpikir dengan baik, memiliki kecakapan untuk mempertimbangkan kuat-lemahnya kemauan. Sedangkan watak bagian biologis adalah watak yang berhubungan dengan dasar-hidup manusia dan yang tidak akan dapat berubah selama hidup. Bagian biologis ini adalah bagian-bagian jiwa manusia yang terkait dengan “perasaan” seperti rasa-takut, rasa-malu, rasa-kecewa, rasa-iri, rasa-egoisme, rasa-sosial, rasa-agama, rasa-berani, dll. Dalam konteks ini, pendidikan tidaklah dapat menghilangkan perasaan-perasaan “jelek” yang dimiliki manusia. Rasa-rasa tersebut akan tetap ada di dalam jiwa manusia, mulai dari masih kecil hingga dewasa. Peran pendidikan hanyalah mengendalikan agar perasaan tersebut tidak muncul. Anak yang memiliki watak “penakut” setelah mendapat pendidikan yang baik, tidaklah serta merta akan menjadi anak yang berwatak pemberani. Rasa takut yang dimilikinya hanya tidak tampak, karena ia telah memiliki kecerdasan fikiran, sehingga dapat menimbang dan memikirkan mana yang seharusnya ditakuti dan mana yang tidak perlu ditakuti, yang pada akhirnya dapat memperkuat kemauannya untuk tidak takut terhadap sesuatu yang tidak perlu ditakuti. Dengan demikian, dalam hal ini pendidikan berfungsi mengembangkan kecerdasan intelligebel (fikiran), sehingga pandai menimbang-nimbang dan berfikir untuk memperkuat kemauannya untuk tidak takut, tidak iri, tidak egois, dst.

E. Tujuan Pendidikan
            Tujuan pendidikan menurut KHD adalah membentuk manusia merdeka segala-galanya; merdeka fikirannya, merdeka batinnya, dan merdeka pula tenaganya, supaya dapat bermanfaat bagi bangsa dan tanah air (h. 12). Sehubungan dengan kemerdekaan ini, KHD mengingatkan bahwa kemerdekaan itu memiliki tiga macam, yaitu berdiri sendiri (zelfstanding), tidak tergantung pada orang lain (onafhankelijk), dan dapat mengatur dirinya sendiri (vrijheid, selfbeschikking) (h. 4). Dengan demikian jelaslah bahwa upaya pendidikan harus mengarah pada pembentukan manusia-manusia yang merdeka dalam segala hal – lahirnya tiada terperintah, batinnya bisa memerintah sendiri dan dapat berdiri sendiri karena kekuatan sendiri – agar mereka dapat bermanfaat bagi bangsa dan tanah airnya.
            Namun demikian, lebih lanjut KHD mengingatkan bahwa sekolah jangan hanya mengutamakan pada pencarian dan pemberian ilmu dan kecerdasan fikiran, karena kalau hal ini terjadi maka pendidikan akan menjadi tidak berjiwa (zakelijk) dan kurang berpengaruh atas kecerdasan budipekerti dan budi kesosialan. Kecerdasan fikiran dan ilmu pengetahuan hanya akan berakibat pada tumbuhnya egoisme dan budi keduniawian (materialisme), dan sekolah menjadi tidak berjiwa dan anti sosial (h.72). Oleh karena itu KHD tidak hanya menghendaki pembetukan intelek, tetapi juga dan terutama pendidikan dalam artian pemeliharaan dan latihan susila (h. 58).
            Tujuan pendidikan demikian, sesungguhnya sejalan dengan tujuan pendidikan yang dikemukakan oleh M. Syafei, yaitu:
  1. menumbuhkembangkan budiperkerti dan akhlak mulia (sesuai dengan ajaran agama, etika dan moral);
  2. menumbuhkembangkan kemerdekaan berpikir (aktif-kreatif);
  3. menumbuhkembangkan pengetahuan, bakat/talenta dan potensi diri sesuai dengan kebutuhan masyarakat; menumbuhkembangkan etos/unjuk kerja yang tinggi;
  4. menanamkan percaya diri, kreativitas, kemandirian, dan kewirausahaan (entrepreneurship; serta
  5. mewujudkan dalam tindakan nyata semboyan: “cari sendiri dan kerjakan sendiri ”, artinya sekolah harus mampu membiayai dirinya dan tidak mau menerima bantuan yang dapat mengurangi kebebasan untuk mencapai cita-cita.
           
F. Dasar Pendidikan
            Bersandar pada pengertian pendidikan yang pada hakikatnya adalah menumbuhkan potensi yang dimiliki anak (sesuai kodratnya), maka proses pendidikan yang dilaksanakan tidak boleh memaksa, tidak menggunakan dasar “perintah, hukuman, dan ketertiban” (regering, tucht, en orde) tetapi menggunakan prinsip “tertib dan damai, tata-tentrem” (orde en vrede). Pendidikan dilakukan dengan cara membimbing, mengarahkan, dan mengayomi anak-anak. Istilah yang populer adalah pendidikan dilaksanakan dengan menggunakan dasar Momong, Among, dan Ngemong. Dalam prakteknya pendidikan dilaksanakan dengan cara menghindari unsur paksaan kepada anak. Anak diberi kesempatan untuk berkembang sesuai dengan kodratnya, agar mereka menjadi orang yang merdeka. Intervensi hanya dilakukan pada saat anak benar-benar telah menyimpang dari nilai-nilai yang dianut dan kodratnya. Tugas yang harus dilakukan pendidik adalah berusaha mengembangkan potensi/kodrat yang dimiliki anak secara maksimal agar potensi tersebut teraktualisasi menjadi sebuah kompetensi.
.
III. Kesimpulan
            Dari pembahasan di atas dapat kita simpulkan bahwa ternyata ajaran Ki Hajar Dewantara dalam pendidikan penuh dengan nilai-nilai yang dibutuhkan di masa sekarang ini. Banyak pendidik mencari sumber refererensi mengenai ide, konsep dan metodologi dalam mengajar dari tokoh-tokoh luar negeri. Padahal, negara kita sendiri mempunyai seorang tokoh yang hebat, dengan pemikiran-pemikiran dan ajaran yang tentunya lebih tepat diaplikasikan dalam dunia pendidikan di Indonesia. Sudah saatnya pendidikan di Indonesia kembali lagi kepada pandangan dasar yang telah ditanam oleh para pendiri bangsa ketika negara ini berdiri. Apa yang sudah dicetuskan oleh Bapak Pendidikan Nasional Indonesia ini, sudah sepantasnya diselami dan dijiwai secara mendalam oleh semua pegiat pendidikan terutama guru sebagai ujung tombaknya.


Senin, 11 April 2016

Kepemimpinan Genuine

Kepemimpinan merupakan syarat utama dalam sebuah komunitas masyarakat. Masyarakat tanpa adanya pemimpin akan mengalami bias kehidupan. Urgensi kepemimpinan inilah yang telah banyak melahirkan teori-teori dalam memandang dan menghasilkan tipe kepemimpinan yang ideal.
Lantutkan silakan downlod di sini

Minggu, 10 April 2016

Konsep Teologi Inklusif Nurcholish Madjid

Berbagai konflik yang terjadi seputar permasalahan agama memang sangat miris didengar. Betapa tidak, agama yang diharakan dapat menjadi pemersatu umat manusia dengan berbagai jenis suku, etnis, kelompok, dan bangsa, justru agama sendiri menjadi sumber pertikaian. Untuk itulah tawaran pengembangan teologi inklusif sebagai resolusi dalam menjawab problem keberagamaan.
Silakan lebih lanjut download...
Download

Hilangnya Budaya Membaca, Menulis dan Berdiskusi di Kalangan Mahasiswa

Membaca merupakan aktifitas intelektual sebagai upaya penambahan wawasan keilmuan. Membaca tidak hanya mengucapkan lafal secara berkala, tetapi lebih dari itu bahwa membaca adalah berfikir (reading is thinking).
Lanjutan silakan download...
Download

Menimbang Epistemologi Studi Islam Kontemporer

Dewasa ini kehadiran agama semakin dituntut agar ikut terlibat secara aktif di dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi umat manusia. Agama tidak boleh hanya sekedar menjadi lambang kesalehan atau berhenti sekadar disampaikan dalam khotbah, melainkan secara konsepsional menunjukkan cara-cara yang paling efektif dalam memecahkan masalah.

Tuntutan terhadap agama yang demikian itu dapat dijawab manakala pemahaman agama yang selama ini banyak menggunakan pendekatan teologis dilengkapi dengan pemahaman agama yang menggunakan pendekatan lain, yang secara operasional konseptual, dapat memberikan jawaban terhadap masalah yang timbul. Dalam memahami agama banyak pendekatan yang dilakukan. Hal demikian perlu dilakukan, karena pendekatan tersebut kehadiran agama secara fungsional dapat dirasakan oleh penganutnya.

Download pdf

Hermeneutika menuju Praksis Islamic Studies

Hermenutika merupakan sebuah fenomena baru dalam kajian Alquran. Hermeneutika yang merupakan teori filsafat mengenai interpresasi makna teks Alquran, tidak lagi merupakan istilah yang diberikan oleh peneliti luar (outsider). Namun istilah tersebut telah digunakan oleh orang Islam sendiri (insider). Penggunaan istilah tersebut tidak sekedar penggunaan istilah tetapi juga membawa konsekwensi pada perumusan metodologi. Perkembangan dunia modern menimbulkan gejala terhadap model penafsiran sebuah teks. Kegagalan penafsir klasik dalam memperlakukan teks dianggap telah memperkosa sebuah teks itu sendiri. Teks dieksploitasi sedemikian rupa tanpa membiarkannya hidup dan komunikatif terhadap pembaca maupun penafsirnya. Sehingga terjadi distorsi teks yang mengakibatkan isi maupun kandungan teks tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman yang sangat pesat. Sehingga menimbulkan sikap skeptis terhadap kesempurnaan sebuah teks. Hal ini juga menimbulkan paradigma terhadap teks yang dipandang tidak lagi dibutuhkan di dunia modern seperti ini. Oleh karena itulah, hermeneutika hadir dalam mengintegrasikan konsep penafsiran kitab suci untuk memunculkan wacana baru terhadap realitas dunia modern.

Download pdf

Historiografi Teks Al-Quran

Permasalahan saat ini ialah umat Islam yang sudah jauh masanya dengan Nabi Muhammad, sehingga ketika terjadi keraguan sudah tidak bisa lagi langsung menanyakannya. Manusia hanya berbekal periwayatan dan ijtihad kolektif maupun individu. Hasilnya adalah terdapat keragaman pemahaman terhadap al-Qur`an. Namun hal ini justru memberikan keniscayaan tersendiri bagi al-Qur`an yang selalu menyimpan misteri, tidak pernah kering untuk selalu menjadi objek kajian. Selain itu, kebesaran al-Quran menjadikannya sebagai salah satu kitab suci yang memiliki pengaruh amat luas dan mendalam terhadap jiwa manusia. Kitab ini telah digunakan kaum Muslimin untuk mengabsahkan perilaku, menjustifikasi tindakan peperangan, melandasi berbagai aspirasi, memelihara berbagai harapan, dan memperkukuh identitas kolektif.[1] Ia juga digunakan dalam kebaktian-kebaktian publik dan pribadi kaum Muslimin, serta dilantunkan dalam berbagai acara resmi dan keluarga. Pembacaannya dipandang sebagai tindak kesalehan dan pelaksanaan ajarannya merupakan kewajiban setiap Muslim.[2]

Download Pdf

[1]M. Arkoun, Berbagai Pembacaan Quran, terj. Machasin, (Jakarta: INIS, 1997), hlm. 9.
[2]Adnan Amal, Rekonstruksi..., hlm. xiii.


MANAJEMEN LEMBAGA DAKWAH; Studi atas Majlis Tafsir Al-Quran (MTA)

Islam sebagai salah satu agama misionaris, memiliki tanggung jawab terhadap kelangsungan peradaban umat manusia. Islam harus mampu menyelamatkan manusia dari terjangan derasnya arus globalisasi. Islam tidak lagi dimaknai sebagai simbol ritualistik yang menjadi candu bagi penganutnya, tetapi agama sudah harus dijadikan ideologi massif dalam melawan globalisasi kapitalistik. Islam sebagai agama misionaris memiliki ajaran berupa transmisi ajaran keagamaan kepada khalayak umum. Dalam pengertian ini adalah dakwah. Dakwah dipandang sebagai bentuk kegiatan penyadaran umat manusia agar selalu waspada terhadap terjangan arus globalisasi. Dakwah dimaksudkan sebagai upaya mentransmisikan nilai-nilai keagamaan yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan. Karena krisis manusia modern adalah krisis spiritual, ditandai dengan disorientasi tujuan hidup. 

Sabtu, 09 April 2016

METODOLOGI PENULISAN KITAB HADIS; Studi atas Musnad Ahmad Ibn Hanbal

Perjalanan sejarah umat Islam selalu ditengarai dengan dinamika kehidupan sosial-politik. Realitas semacam inilah yang pernah menyebabkan kemunculan berbagai hadis-hadis palsu untuk membela kepentingan kelompok. Kenyataan inilah yang menjadi daya tarik para kaum orientalis dalam mengkritisi kesejarahan hadis-hadis yang telah terkodifikasi di dalam kitab-kitab hadis kanonik. Para orientalis dengan nalar skeptisme, yang berangkat dari gejolak dinamika sosial-politik umat Islam dahulu, berusaha mempertanyakan kembali otentisitas sebuah hadis. Hingga dimulai oleh Ignaz Goldziher pada permulaan abad XIX dan XX, mulai meragukan valisitas sebuah hadis. Diteruskan oleh Josep Schacht, dan Juynboll, para orientalis berusaha menciptakan teori baru dalam mengkaji sebuah hadis. Teori-teori ini dikembangkan melalui sudut pandang dan orientasi yang berbeda dari kalangan umat Islam. Hal inilah yang menyebabkan teori-teori para kaum orientalis banyak ditolak dan dikritisi oleh para sarjana Muslim. Namun sebagai seorang akademisi yang berkecimpung dalam dunia penelitian, tidak seharusnya menolak secara a priori ataupun menerimanya secara taken for granted.  Justru yang harus dilakukan adalah membangun dan menciptakan teori-teori yang dapat menjamin tingkat validitas, reliabilitas, dan akseptabilitas suatu hadis.[1]



[1]   Wahyuni Eka Putri, dalam Kurdi, dkk., Hermeneutika Al-Quran dan Hadis, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010), hlm. 330.

Refleksi Kepemimpinan Wanita dalam Al-Quran

Indonesia merupakan negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia. Dewasa ini wacana kesetaraan gender semakin menguat. Doktrin tentang larangan seorang wanita menjadi pemimpin, menjadi fakta menarik di lapangan. Munculnya beberapa pemimpin wanita baru-baru ini, menunjukan kesadaran masyarakat tentang arti kesetaraan gender. Bahkan dimungkinkan masyarakat mulai lelah (kecewa) dengan gaya kepemimpinan kaum laki-laki. Wacana ini mulai berkembang dari tingkatan regional, nasional, bahkan internasional yang membicarakan suksesi kepemimpinan kaum wanita. Meskipun wacana ini sempat booming, ketika Megawati Seokarno Putri menggantikan Abdurrahman Wahid (Gusdur) sebagai presiden. Kejadian ini tidak terlepas dari berbagai perdebatan di kalangan ulama. Setidaknya terdapat tiga pandangan yang berkembang yaitu, pihak yang menolak secara total kepemimpinan wanita, sebagian lain menerima dengan syarat, dan di pihak lain menerima secara keseluruhan.

Rabu, 06 April 2016

TINJAUAN UMUM HADIS ARBA’IN AN-NAWAWY

Hadis merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Quran yang dijadikan pijakan bagi umat Islam. Hadis memiliki kedudukan sebagai penjelas terhadap Al-Quran yang masih bersifat general. Fungsi hadis sebagai penjelas Al-Quran menjadikan hadis banyak diminati untuk dikaji, baik dari kalangan Muslim maupun non-Muslim. Di tambah dengan beberapa dinamika yang terjadi pada masa Islam awal ketika berbagai perdebatan sengit karena unsur politik dan ekonomi. Menimbulkan beberapa kelompok dengan sengaja membuat redaksi-redaksi baru yang mereka sebut sebagai hadis.
Lanjutan silakan didownlod...
Download Pdf

Sabtu, 02 April 2016

Metode Tafsir Bint Syathi; Studi atas Kitab Al-Tafsîr al-Bayânî li al-Qur’an al-Karîm



Pergeseran-pergeseran yang terjadi dalam dunia Qur’anic Studies, menggambarkan relativitas penafsiran teks Al-Quran, ditambah dengan berbagai tuntutan situasi kontemporer yang dirasa belum dialami oleh penafsir-penafsir klasik. Alasan inilah yang menyebabkan Bint Syathi seorang mufasir perempuan pertama abad 20 menggeluti dunia tafsir Al-Quran. Berbekal keilmuan sastra Arab, Bint Syathi mencoba mendekati teks-teks Al-Quran dengan metode semantik. Bint Syathi menganggap bahwa setiap bahasa memiliki kandungan keindahan di dalamnya, begitupun dengan Al-Quran. Setiap bahasa memiliki keindahan sastra yang mewakili cita rasa yang tinggi, asli, dan sempurna dalam seni tutur. Al-Quran menurutnya adlah kitab sastra Arab terbesar dengan mukjizat ­bayan-nya abadi, dan gagasan-gagasannya tinggi. Bagi seorang yang ingin mereguk cita rasanya, memahami perasaan dan temperamennya, dan menyingkap rahasia-rahasianya bayan (penjelasan) dan karakteristik ungkapannya, harus setia dalam memahami keindahan-keindahan bahasa Al-Quran.[1]
Latar belakang pendidikan Bint Syathi sangat mempengaruhi karakteristik kitab tafsirnya. Pendekatan yang digunakan oleh Bint Syathi menunjukan kecintaannya terhadap cita rasa sebuah bahasa. Menarik untuk menelisik lebih dalam karakteristik kitab tafsir Bint Syathi sebagai langkah dalam mengenali metode yang digunakannya. Tulisan ini akan melakukan kajian terhadap kitab Bint Syathi yang berjudul Al-Tafsîr al-Bayânî li al-Qur’an al-Karîm. Pertanyaan umum dalam tulisan ini adalah bagaimana karakteristik kitab tafsir tersebut.




[1]      Aisyah Abdurrahman, Al-Tafsir Al-Bayani Lil Qur’an Al-Karim; Juz Awwal, (Kairo: Dar Al-Ma’arif, cet. VII 1990), hlm. 13.