Translate

Minggu, 06 September 2015

ANALISIS MAQAMAT WARA’ DAN ZUHUD DALAM MASYARAKAT MODERN

Oleh:
Muhammad Kholil Ridwan: 215-13-003
Ayusta Gilang Wanodya: 215-14-001
Novita Intan Purwasih: 215-14-002
Jurusan Ilmu Alquran dan Tafsir Fakultas Ushuluddin, Adab dan Humaniora
IAIN Salatiga (2015)


ABSTRAK
Maqamat adalah jalan spiritual yang harus dilalui para sufi dalam mencapai tujuan idealnya, melalui proses purifikasi jiwa terhadap kecenderungan materi agar kembali kepada jalan Tuhan. Di dalam maqamat, terdapat tingkatan yang bernama wara’ dan zuhud. Wara adalah nilai kesucian diri, artinya menahan diri, berhati-hati, atau menjaga diri supaya tidak jatuh pada kecelakaan. Sedangkan zuhud berarti suatu sikap hidup di mana seseorang tidak terlalu mementingkan dunia atau harta kekayaan, karena harta kekayaan dunia ini hanya merupakan sarana atau alat untuk mencapai tujuan kehidupan akhirat. Problematika spiritual bagi manusia modern merupakan hal yang tidak mudah untuk dipecahkan. Dengan tanpa mengingkari berbagai kemajuan dan keberhasilan eksistensinya serta positivisme telah melahirkan manusia pincang yang hanya berorientasi kekinian (keduniaan) sehingga akibatnya mengingkari spiritualitas dari agama. Manusia yang rasionalistik dengan penuh kemodernan menganggap dunia spiritual semakin tidak penting. Untuk itulah, bagimana konsep maqamat wara’ dan zuhud diimplementasikan dalam kehidupan modern tanpa berbenturan dengan kehidupan modern itu sendiri. Bagaimana konsep tasawuf tidak ditolak oleh masyarakat modern. Sehingga spiritualitas masyarakat modern dapat terdidik secara perlahan menggunakan konsep tasawuf.

Kata Kunci: Maqamat, Zuhud, Wara, Masyarakat Modern, Spiritualitas


A.     Pendahuluan


Berbicara mengenai tasawuf tidak bisa terlepas dari istilah maqamat. Maqamat merupakan sarana spiritual seseorang dalam berkomunikasi dengan Tuhan, Dzat tempat berasal dan kembali segala sesuatu yang ada di jagad raya ini. Maqamat merupakan cara untuk mencapai tujuan ideal para sufi melalui proses purifikasi jiwa terhadap kecenderungan materi agar kembali pada cahaya Tuhan (Taufiq, 2001: 128).
Maqam yang arti dasarnya “tempat berdiri”, dalam terminologi sufistik berarti tempat atau martabat seorang hamba dihadapan Allah pada saat ia berdiri menghadap kepada-Nya. Ia merupakan proses training melatih diri dalam hidup kerohanian (riyadhah), memerangi hawa nafsu (mujahadah) dan melepaskan kegiatan dunia untuk semata-semata berbakti kepada Tuhan. Maqamat atau kedudukan-kedudukan merupakan tingkatan-tingkatan rohani yang dapat dilalui orang yang berjalan kepada Allah SWT dan akan berhenti sang salik dalam satu saat tertentu dan berjuang dalam lingkarannya, sehingga Allah memudahkan menempuh jalan menuju tingkat kedua agar dia meningkat pada ketinggian rohani dan dalam keadaan mulia, menuju keadaan yang lebih tinggi lagi. Hal itu seperti dikutip oleh Rofiatul Ulya dari Al-Ghazali yang menerangkan tinggkatan dari at-taubah menuju al-wara’, menuju zuhud dan demikianlah jalannya sehingga mencapai tingkatan mahabbah (kecintaan) dan ridho (Ulya, 2003: 2).
Dalam salah satu maqamat tasawuf terdapat istilah wara’dan zuhud. Wara ialah meninggalkan segala sesuatu yang belum jelas hukumnya (subhat), sedangkan dalam tradisi sufi wara berarti meninggalkan segala hal yang berlebihan, baik berwujud benda maupun perilaku. Lebih dari itu juga meninggalkan segala hal yang tidak bermanfaat, atau tidak jelas manfaatnya (Muhammad, 2002: 30). Sedangkan zuhud yakni lepasnya pandangan keduniaan dan usaha memperolehnya dari diri orang yang sebetulnya mampu untuk memperolehnya (Pranowo dalam Rahman, 1995: 199).
Realitas yang terjadi dalam kehidupan modern, memiliki banyak tantangan masalah keberagamaan. Salah satunya ialah masalah spiritualitas manusia modern. Perkembangan tekhnologi canggih dan rasionalitas yang amat tinggi sehingga meninggalkan dimensi-dimensi spiritual. Nantinya menghasilkan manusia yang hedonis. Untuk itulah, dalam kehidupan modern seperti ini, hendaknya manusia tetap melakukan keseimbangan hidup. Adanya dimensi rasionalitas, ada juga dimensi spiritualitas. Konsep tasawuf sejatinya telah mengajarkan hal demikian. Adanya keseimbangan antara kehidupan di dunia dan di akhirat. Wara dan zuhud berusaha menuntun manusia untuk kembali kepada fitrahnya yang lurus (hanif). Menghilangkan kekerasan hati di dalam manusia. Menurut Jalaludin Rahmat wara dan zuhud memiliki derajat nilai kesucian dan kesehatan jiwa dalam membangun spiritualitas masyarakat modern. Oleh karena itu, bagimana konsep maqamat wara dan zuhud dipahami dalam kehidupan modern. Serta apa implikasi masyarakat modern mengamalkan sikap wara dan zuhud dan bagaimana konsep wara dan zuhud mampu ditransformasikan dalam kehidupan masyarakat modern sebagai pembinaan spiritualitas.



B.     Maqamat Wara dan Zuhud
Maqamat adalah jamak dari maqam, yang berarti tempat atau kedudukan (stations). Dalam Sufi Terminology: The Mystical Language of Islam, maqam diterjemahkan sebagai kedudukan spiritual. Karena sebuah maqam diperoleh melalui daya upaya (mujahadah) dan ketulusan dalam menempuh perjalanan spiritual. Namun sesungguhnya perolehan tersebut tidak lepas dari karunia yang diberikan oleh Allah SWT. Suatu maqam tidak lain adalah merupakan kualitas kejiwaan yang bersifat tetap. Inilah yang membedakannya dengan keadaan spiritual (hal) yang bersifat sementara. Seseorang tidak dapat beranjak dari satu maqam ke maqam lain sebelum ia memenuhi semua persyaratan yang pada maqam tersebut. Sebagaimana digambarkan oleh al-Qusyairi bahwa seseorang yang belum sepenuhnya wara tidak bisa mencapai zuhud begitupun seterusnya (Muhammad, 2002: 25).

Definisi Wara
Al-wara' menurut bahasa jika dikatakan, "wara'a yara'u war'an wa wara'an wa wari'atan." artinya menjaga dan menghindari dari hal-hal yang diharamkan kemudian digunakan juga untuk perbuatan menahan diri dari hal-hal yang mubah. pelakunya disebut wari'un wa mutawarri'un. lafazh wari'a yaura'u wa yauri'u artinya menjadi orang yang wara'. tawarra'a minal-amri artinya menjauhinya. Al-wara’a dapat menggerakkan ketakwaan.
Menurut pengertian terminologis, al-wara' artinya menahan diri dari hal-hal yang dapat menimbulkan madharat lalu menyeretnya kepada hal-hal yang haram dan syubhat, karena syubhat ini dapat menimbulkan mudharat. sesungguhnya, siapa yang takut kepada syubhat maka dia telah membebaskan kehormatan dan agamanya, dan siapa yang berada dalam syubhat berarti dia berada dalam hal yang haram, seperti penggembala di sekitar tanaman yang dijaga, yang begitu cepat dia masuk ke dalamnya.
Menurut al-Jurjanji, wara adalah menghindari hal-hal yang syubhat (samar) karena takut terjerumus ke dalam hal-hal yang haram. Muhammad ibnu Allan ash-Shidqi menyatakan bahwa menurut para ulama, wara adalah meninggalkan apa-apa yang boleh untuk menghindari diri dari apa-apa yang tidak boleh. Sedangkan menurut Ibnu Ujaibah, wara adalah menahan diri dari berbuat sesuatu yang dampaknya makruh.
Seperti juga dikatakan oleh Jalaluddin Rahmat dalam bukunya Renungan-Renungan Sufistik mendefinisikan wara sebagai nilai kesucian diri. Orang Islam mengukur keutamaan, makna atau keabsahan gagasan dan tindakan, dari sejauh mana keduanya memproses penyucian diri. Jalaluddin Rahmat juga mengatakan bahwa kata wara tidak terdapat dalam Alquran. Secara harfiah wara artinya menahan diri, berhati-hati, atau menjaga diri supaya tidak jatuh pada kecelakaan (Rahmat, 1999: 101).
Sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin Rahmat (1999) dari Ibn Qayyim Al-Jawziyah, dalam  Madarij Al-Salikin 2: 23, membagi wara dalam tiga tahap: tahap meninggalkan kejelekan, tahap menjauhi hal yang diperbolehkan karena kuatir jatuh pada hal dilarang, dan tahap menjauhi apa saja yang membawa orang kepada selain Dia. Menurut Ibn Qayyim juga, tahap pertama mempunyai tiga fungsi perlindungan diri, peningkatan kebaikan, dan pemeliharaan iman (Rahmat, 1999: 104).
Adapun yang menjadi dasar ajaran wara sebagaimana dikutip oleh Hasyim Muhammad dari al-Qusyairi adalah sabda Nabi SAW yang artinya “Sebagian dari kebaikan tindakan keislaman seseorang adalah bahwa ia menjauhi sesuatu yang tidak berarti.” Juga ada hadist lain yang artinya: “Bersikaplah wara dan kamu akan menjadi orang yang paling taat beribadah” (Muhammad, 2002: 31-32).
Lebih lanjut Hasyim Muhammad menulis, bahwa para ahli tasawuf juga membagi wara pada dua bagian, yaitu wara yang bersifat lahiriyah dan wara yang bersifat batiniyah. Wara lahiriyah berarti meninggalkan segala hal yang tidak diridhai oleh Allah, sedangkan wara bathiniyah berarti tidak mengisi atau menempatkan sesuatu di hatinya kecuali Allah (Muhammad, 2002: 32).
Menurut Muhammad Al-Ghazali dalam bukunya Menghidupkan Ajaran Rohani Islam menerangkan bahwa makna wara tidak terletak pada persoalan bisa atau tidaknya seseorang menghadapi berbagai masalah yang baru muncul dengan hukum Allah. Bukan itu yang dimaksud dengan wara. Sebab, muslim dengan sekuat tenaga mencari kebenaran dan menghadapi segala persoalan dan hukum dengan hati nurani. Jika hatinya merasa tentram dengan apa yang diterimanya, maka ia menjatuhkan pilihan kepadanya tanpa rasa khawatir. Jika hatinya benci dengan prilaku atau pandangan tertentu, maka ia menjauhinya (Al-Ghazali, 2001: 274).


Tanda-Tanda Orang yang Bersikap Wara
Menurut Al-Faqih, bukti adanya wira'i (wara') dalam diri seseorang adalah jika dalam diri orang tersebut telah ada sepuluh kewajiban, yaitu:
1.    Memelihara lisan, tidak sampai ghibah atau menggunjing. Firman Allah SWT dalam surah al-Hujurat ayat 12 yang artinya, "Janganlah setengah di antara kamu menggunjing terhadap setengah lainnya."
2.    Tidak buruk sangka. Firman Allah SWT dalam surah al-Hujurat ayat 12 yang artinya, "Hindarkanlah prasangka buruk, karena setengahnya adalah dosa." Dalam hadits Nabi SAW dijelaskan yang artinya, "Hati-hatilah kamu dari prasangka buruk, karena hal itu adalah perkataan paling bohong."
3.    Tidak menghina (merendahkan) orang lain. Firman Allah SWT dalam surah al-Hujurat ayat 11 yang artinya, "Janganlah suatu kaum menghina kaum lainnya, boleh jadi kaum yang dihina itu adalah lebih baik dari pada kaum yang menghina."
4.    Memelihara pandangan mata dari yang haram. Firman Allah SWT dalam surah Nur ayat 30 yang artinya, "Katakanlah, ada orang-orang mukmin agar memejamkan pandangan matanya dari yang haram."
5.    Berbicara benar. Firman Allah SWT dalam surah al-An'am ayat 152 yang artinya, "Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil."
6.    Mengingat nikmat Allah SWT yang telah diberikan kepadanya agar tidak sombong. Firman Allah SWT dalam surah al-Hujurat ayat 17 yang artinya, "Bahkan Allah-lah yang memberi karunia kepadamu ketika kau diberi petunjuk, sehingga kau beriman. Jika kau benar-benar beriman."
7.    Menggunakan hartanya dalam jalan kebenaran, bukan pada kebatilan. Firman Allah SWT dalam surah al-Furqan ayat 67 yang artinya, "Orang-orang yang membelanjakan hartanya tiada berlebihan dan tiada kikir, mereka tengah-tengah (berlaku sedang) dalam hal itu."
8.    Tidak ambisi kedudukan dan tidak pula berlaku sombong. Firman Allah SWT dalam surah al-Qashash ayat 83 yang artinya, "Negeri akhirat sengaja Kami sediakan bagi mereka yang tidak ambisi kedudukan dunia dan tidak pula suka merusak."
9.    Memelihara (waktu) sholat dan menyempurnakan ruku’ dan sujudnya. Firman Allah SWT dalam surah al-Baqarah ayat 238 yang artinya, "Peliharalah (waktu-waktu) sholat, terutama sholat pertengahan, tegakkanlah dengan khusyu', diam bermunajat."
10.     Istiqomah mengikuti sunnah Rasul dan jamaah umat Islam. Firman Allah SWT dalam surah al-An'am ayat 153 yang artinya, "Inilah ajaran yang menuju kepada keridhoan-Ku (jalan lurus-benar), lalu ikutilah, jangan mengikuti jalan-jalan lain, (jika demikian), pasti menyimpang jauh dari jalan Allah. Demikianlah pesan Dia kepadamu agar kamu bertakwa."

Oleh karena itu, hendaknya kita senantiasa berhati-hati terhadap segala sesuatu yang serupa dengan wara' yang berlebih-lebihan. Karena meskipun tidak membahayakan, namun dapat menjadikan seseorang lupa dengan sesuatu yang lebih penting karena sibuk dengan wara' yang berlebih-lebihan. Seperti halnya orang yang sedang bersuci, karena berlebih-lebihan mencari air dan menganggap ini terkena najis, ini makruh dan lain sebagainya. Akhirnya ia tidak jadi bersuci. Hal seperti inilah yang seharusnya tidak perlu terjadi. Tidak seyogyanya manusia itu mengerjakan wara' yang rumit-rumit kecuali orang yang alim dan kokoh hatinya. Sebab orang yang alim dan kuat pendiriannya, jika melampaui batas dari garis ketentuan maka dengan sendirinya ia akan membalikkan diri sehingga tidak melampaui batas syara' yang ditentukan.
     
Keutamaan Wara
   Dari uraian di atas, dapat di simpulkan bahwa wara adalah sikap yang menghimpun semua sifat yang sempurna. Wara merupakan ibadah yang paling tinggi derajatnya, menurut wasiat Nabi SAW kepada Abu hurairah dalam sabdanya:
“wahai abu hurairah, jadilah engkau orang yang wara, niscaya engkau akan menjadi yang paling taat ibadahnya” ( HR. Ibnu Majah)

Dengan demikian, wara merupakan medium untuk meraih beragam karunia yang paling agung dari Tuhan. Yahya ibn muadz bekata, “barang siapa tidak memperhatikan hal yang kecil dari wara, maka dia tidak akan meraih hal agung dari karunia.” Karena besarnya fungsi wara, tingginya derajatnya dan besar pengaruhnya, maka Rasulullah menganjurkan untuk bersifat wara dalam banyak haditsnya:
“seseorang tidak akan mencapai derajat muttaqin (orang yang bertaqwa) sampai dia meninggalkan apa-apa yang boleh demi menghindari apa- apa yng tidak boleh” ( HR. Tirmidzi)

Ketika para pemuka sufi mewujudkan sifat wara pada diri mereka, mereka telah menyegarkan ingatan kita tentang sifat wara para sahabat dan tabiin. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa:
pada suatu ketika Abu Bakar ash- Shidiq memakan makanan yang dibawa oleh salah seorang budak beliau. Lalu budak beliau mengatakan bahwa di dalam makanan itu terdapat syubhat. Mengetahui hal itu, beliau langsung memasukkan tangannya kedalam mulut dan memuntahkan semua makanan yang ada dalam perutnya. (HR. Bukhori)

Para sufi tidak berlaku wara melainkan sebagai wujud peneladanan mereka terhadap jejak Rasulullah dan para sahabatnya, sebagai akibat dari pengaruh cinta mereka kepada Allah dan keteguhan mereka dalam memegang petunjuknya, dan sebagai buah dari ketakutan mereka terjerumus ke dalam jurang pelanggaran atas aturan Allah. Sebab, barang siapa telah merasakan manisnya iman, niscaya Allah akan memuliakannya dengan sifat taqwa. Dan barang siapa telah mewujudkan sifat taqwa dalam dirinya, niscaya dia akan bersikap wara, takut kepada Allah dan berharap akan karunia-Nya. Syah al-Karmani berkata, “tanda taqwa adalah wara. Tanda wara adalah menjauhi segala yang syubhat. Tanda khauf adalah kesedihan dan tanda raja adalah melakukan ketaatan dengan baik.”

Hakekat Zuhud
Kata zuhud berasal dari bahasa Arab yang memiliki akar kata zahada - yazhadu - zuhdan yang artinya meninggalkan, tidak menyukai dan menjauhkan diri dari. Menurut Lois ma’luf dalam totok Jumantoro (2005: 296), kata zuhud berasal dari bahasa Arab yaitu kata zahada artinya ragaba ‘anhu wataraka (benci dan meninggalkan sesuatu), zahada fi ad-dunyā yang artinya mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah. Orang yang melakukan zuhud disebut zāhid, zuhhād, atau zāhidūn. Jadi zuhud ialah suatu sikap hidup di mana seseorang tidak terlalu mementingkan dunia atau harta kekayaan, karena harta kekayaan dunia ini hanya merupakan sarana atau alat untuk mencapai tujuan kehidupan akhirat. Pengertian lain yang dimaksud zuhud adalah tidak merasa bangga terhadap kemewahan dunia yang dimiliki dan tidak merasa sedih ketika kehilangan harta. Kebalikan dari zuhud adalah hubbuddun-ya artinya cinta dunia.
Zuhud merupakan sikap seseorang dalam memandang dunia, sehingga Al-Ghazali membagi zuhud menjadi tiga tingkatan. Tingkat pertama adalah zuhud terhadap dunia akan tetapi hatinya masih condong kepada dunia, kemudian sifat condong kepada dunia tersebut diperanginya. Tingkat ini disebut al-Mutazahid (orang yang berusaha zuhud) atau disebut dengan pendahulu zuhud. Tingkat kedua meninggalkan dunia dengan hati yang ikhlas, karena menganggap dunia ini hina dan akhiratlah tujuan yang sebenarnya. Dan memfokuskan tujuan hidup di dunia untuk bekal di akhirat. Tingkat ketiga ialah zuhud didalam kėzuhudān. Orang ini tidak mengetahui dirinya zuhud, sebab dia mengetahui bahwa dunia seisinya tidak sebanding dengan Allah SWT. Zuhud ini muncul kerena telah ma’rifat kepada Allah SWT.
Dalam pemahaman ini menurut Amin Syukur dalam bukunya Zuhud Abad Modern menuliskan bahwa zuhud berarti tidak merasa bangga atas kemewahan dunia yang telah ada di tangan, dan tidak merasa bersedih karena kehilangan kemewahan itu dari tangannya. Zuhud bukanlah suatu kependetaan atau terputusnya dunia, akan tetapi merupakan hikmah pemahaman yang membuat manusia memiliki pandangan khusus terhadap kehidupan dunia itu, mereka tetap bekerja dan berusaha namun kehidupan tidak bisa menguasai kecenderungan kalbunya dan tidak membuat mengingkari Tuhan (Syukur, 2000: 4).
Walaupun Abu Bakr Muhammad al-Waaraq mengartikan kata zuhud (z, h, d), mengandung arti tiga hal yang mesti ditinggalkan. Huruf “z” berarti zinah (perhiasan, kehormatan), huruf “h” berarti hawa (keinginan) dan huruf “d” berarti menuju kepada dunia (materi). Akan tetapi, orang yang bersikap zuhud tidak boleh meninggalkan kepentingan dunia untuk kepentingan akhirat. Islam menganjurkan adanya keseimbangan hidup untuk di dunia dan bekal di akhirat kelak. Zuhud dengan sikap meninggalkan dunia secara berlebihan sama tercelanya dengan mereka yang mengejar kehidupan di dunia tanpa memperdulikan urusan akhirat. Seperti yang dijelaskan oleh Kautsar Azhari Noer bahwa Islam adalah agama yang sangat menekankan pada keseimbangan, memanifestasikan dirinya dalam kesatuan syariah (hukum Tuhan) dan thariqah (jalan spiritual sering disebut sufisme atau tasawuf). Azhari Noer menambahkan bahwa landasan metafisis bagi pemeliharaan keseimbangan antara aspek lahiriah dan aspek batiniah dengan keharusan menyatukan syariah dan thariqah adalah teori bahwa alam dan seluruh isinya adalah “penampakan diri” (tajali, self-disclosure, theophany) Tuhan, yaitu penampakan nama-nama dan sifat-sifat Tuhan. Teori “penampakan diri” Tuhan adalah teori dasar Tasawuf (Noer, 2002:20-21).

Manfaat Zuhud dalam Kehidupan
Berpatokan pada uraian sebelumnya zuhud dapat posisikan sebagai sebuah kondisi atau kedudukan hati karena merupakan usaha pengosongan hati terhadap kecenderungan tentang kecintaan kepada dunia, sehingga hati seorang zahid tidak lagi tertarik kepada dunia karena tujuan utamanya yaitu menuju Allah SWT. Sehingga hal di atas tentunya zuhud bukanlah bermaksud menanggalkan semua harta bendanya, lalu kemudian menitipkan keluarganya kepada orang lain, tetapi yang dimaksud; zuhud terhadap dunia ini bukanlah dengan cara mengharamkan barang yang halal ataupun tak mau menggunakan apa yang ada pada Allah dari pada apa yang ada pada diri kita sendiri dan seandainya engkau ditimpa musibah engkau menerima dengan lapang dada.
Berdasarkan uraian-uraian sebelumnya berikut beberapa manfaat zuhud untuk mengingatkan kita bahwa dunia ini adalah fana. Pertama, menyadari bahwa dunia ini fana yang mudah sirna dan hanya khayalan yang lewat sejenak. Apapun aktifitas yang dilakukanjika dilakukan semata-mata untuk duniamaka itu tidak menjamin keselamatan, oleh karena itu dunia hanya persiapan berangkat menuju akhirat yang abadi dan diuji dengan berbagai cobaan. Meskipun demikian Quraish Shihab mengatakan kita tidak boleh salah faham lantas mencacimaki dunia apalagi mengabaikannya karena ia adalah kebenaran dan jalan untuk mencapai akhirat. Kedua, manusia harus menyadari bahwa setelah kehidupan dunia ada kehidupan yang agung. Ketiga, Menyadarkan kepada manusia bahwa zuhud tidak harus meninggalkan kewajiban yang menjadi tanggung jawabnya. Keempat, tidak sombong karena hanya bersandar kepada Allah SWT, tidak memakan barang haram, sifat serakah akan hilang, tidak tamak, tidak kikir karena gemar bersedekah untuk menghilangkan ketergantungan kepada harta.

C.     Membangun Spiritual Masyarakat Modern
Pada abad ke-19 sampai abad 20 masehi yang dikenal sebagai zaman modern, tentunya kondisi dan situasinya berbeda-beda dengan masa sebelumnya. Secara kontekstual peran yang dimainkan umat Islam masa kini, baik secara individual maupun secara kolektif, berbeda dengan masa sebelumnya, sehingga rumusan konsep tasawuf perlu disesuaikan dengan konteksnya.
Nurcholish Majid memandang bahwa abad modern sebagai abad tekhnolisme yang mengabaikan harkat kemanusiaan. Segi kekurangan paling serius dari abad modern ini, katanya, ialah ihwal yang menyangkut diri kemanusiaan yang paling mendalam, yaitu bidang kerohanian. Hal Senada juga disampaikan Sayed Husein Nasr bahwa manusia modern telah tersesat dalam sebuah dunia yang telah kehabisan nilai sakralnya disebabkan menuhankan ilmu pengetahuan. Jadi, tokoh-tokoh di abad modern seperti Nurcholish Madjid, Iqbal dan Husein Nasr memiliki pandangan yang berbeda dengan tokoh klasik seperti Hasan al-Basri, Rabiatul Adawiyah, Ibrahim ibn Adham dan lainnya. Tokoh tasawuf klasik memandang dunia sebagai sesuatu yang harus dijauhi dengan dasar dunia bisa menutupi hati (hijab). Berbeda dengan Iqbal yang berpandangan bahwa dunia adalah sesuatu yang haq. Manusia sebagai khalifah Allah, “teman sekerja” Tuhan harus aktif membangun “Kerajaan di dunia”, karena Tuhan belum selesai menciptakan alam ini. Manusialah yang harus menyelesaikannya. Dan sejalan dengan itu, Sayyed Husein Nasr menandaskan agar seseorang mempunyai keseimbangan antara ilmu dan amal, antara kontemplasi dan aksi, dan jangan sampai menjadi biarawan Husein Nasr menekankan pentingnya manusia modern untuk kembali kepada Tuhan-Nya, memahami makna esensi dari ajaran agama sehingga mampu keluar dari belenggu kehampaan spiritual yang melanda manusia dewasa ini. (Rusli dan Rahmawati, 2014: 1-2).
Menurut Fazlur Rahman sebagaimana dikutip Amin Syukur, mempunyai pandangan yang sangat positif terhadap dunia. Dia menolak pandangan negatif dan menjauhkan diri dari dunia, manusia harus aktif dan berpikir positif terhadap dunia. Bahkan ia mencita-citakan neosufisme, yaitu sufisme yang cenderung menumbuhkan aktivisme terhadap dunia. Begitupun dengan Hamka, sebagai ulama Indonesia, sebagaimana dikutip oleh Amin Syukur, mempunyai pandangan yang positif pula terhadap dunia, dan zuhud merupakan sikap jiwa yang tidak ingin dan tidak demam terhadap harta, serta tidak terikat oleh materi. Harta boleh dimiliki tetapi diperuntukkan pada hal-hal yang bermanfaat. Dia menyatakan bahwa manusia harus menciptakan keseimbangan antara kebutuhan jasmani dan rohani, antara materi dan non materi. Lebih dari itu, mereka harus aktif di atas dunia ini.
Sebagaimana yang diungkapkan Sudirman Tebba, bahwa sikap zuhud tidak berarti hidup miskin atau enggan bekerja sehingga hidup melarat. Dalam konteks pekerjaan, zuhud itu berarti mengerjakan pekerjaan halal atau bekerja dengan cara yang halal, kemudian hasilnya tidak dihambur-hamburkan dalam perbuatan maksiat. Selain menjauhi pekerjaan syubhat dan haram, zuhud juga menghendaki manusia untuk memenuhi kewajiban, termasuk mencari nafkah untuk kelangsungan hidup bagi diri sendiri maupaun keluarga. Dilihat dari sisi ini, zuhud justru mengandung etos kerja yang tinggi. Karena, zāhid seharusnya senantiasa bekerja keras. Dengan kerja keras dan sikap profesional, kebahagiaan dunia dan akhirat dapat diraih.
Hal tersebut didukung oleh Fazlur Rahman sebagaimana dikutip Amin Syukur yang tidak setuju dengan pola sikap sufi yang pesimisme dan isolasinisme, karena jauh dari ajaran al-Quran. Tujuan utama al-Quran ialah tegaknya tata sosial yang bermoral, adil dan dapat bertahan di muka bumi. Kesucian seseorang bukan karena keterasingan dari dunia dan proses sosial, tetapi berada dalam gerakan menciptakan sejarah. Begitupun al-Qushasi pernah menghimbau kaum muslim agar meninggalkan kemalasan dan kebodohan dengan menggunakan waktu untuk tujuan-tujuan yang bermanfaat. Dia menekankan agar kaum muslimin menjalankan tugas-tugas keduniaan untuk mencapai pemenuhan spiritual. Menurutnya sufi yang sebenarnya bukanlah sufi yang mengalienasikan diri dari masyarakat, melainkan sufi yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah kepada kemungkaran, membantu orang sakit dan miskin serta membebaskan mereka yang tertindas.
Pentingnya menjaga keseimbangan mental dengan penghayatan zuhud secara benar, menjadi suatu yang tidak dapat dipungkiri. Ini lebih-lebih bila disadari bahwa zaman modern saat ini, menyebabkan manusia modern makin sarat dengan pemujaan kreasi pengetahuan teknologi, meterialistik, dan gaya hidup hedonis. Kian jauh dari dimensi spiritual. Hossein Nasr sebagaimana dikutip Amin Syukur, inti dari way of life dalam Islam adanya keseimbangan kontemplasi dan aksi, ma’rifatullah dan amal shalih serta orientasi pada aspek batin dan aspek lahir yang ada dalam diri manusia. Menyandarkan pada keteladanan Nabi Muhammad SAW, yang menintegrasikan antara jasmani dan rohani, lahir dan batin.
Pada hakikatnya dunia bukanlah tercela, tapi yang tercela adalah perbuatan hambanya. Hal ini ditegaskan oleh Al-Manawi sebagaimana dikutip oleh Abdul Qadir Isa, dunia tidaklah tercela karena dirinya sendiri. Dunia adalah ladang akhirat yang menghantarkan manusia menuju surga atau neraka. Barang siapa memanfaatkan dunia dengan menjaga peraturan-peraturan syariatnya, maka dunia tersebut akan menolongnya untuk mencapai akhirat (surga). Oleh arena itu, dikatakan, jangan engkau bersandar pada dunia, karena dia tidak kekal bagi seseorang. Dan janganlah engkau meninggalkannya, karena akhirat tidak akan didapat kecuali dengannya.
Namun, jika dunia ini didominasi oleh hawa nafsu, keinginan untuk meraih kesenangan, kelalaian, serta kehidupan jauh dari Allah, maka keadaan yang akan meliputi para penghuni dunia dan kehidupannya, akan tercela dalam keadaan bagaimanapun. Sebenarnya anjuran zuhud di dunia merupakan teguran, agar tidak selalu mementingkan duniawi, sehingga mengabaikan urusan akhirat. Semua itu dimaksudkan agar manusia berada pada derajat yang terbaik disisi Tuhannya, sebagai balasan apa yang telah mereka kerjakan di dunia.
Dengan demikian, seorang zahid dilarang mengisolasikan diri dan eksklusif dari kehidupan ini. Sebaliknya mereka wajib bekerja keras, mencari bekal hidup di dunia dan hasilnya diperuntukan untuk kebaikan. Dunia ini tempat berkiprah dengan amal shalih, yang hasilnya akan dipetik di akhirat kelak. Kiprah mereka di atas dunia, sejalan dengan fungsi kekhalifahanya yang mempunyai tugas untuk memakmurkan, menegakkan  kebenaran dan keadilan, motivator dan dinamisator pembangunan di atas muka bumi.
M. Bambang Pranowo menerangkan bahwa pola kehidupan yang semata-mata dipimpin oleh otak (head) dan ketrampilan tekhnologi (hand), itu perlu diimbangi dan dikendalikan dengan kebeningan hati (heart). Maka, melalui sudut pandang kesufian kiranya kehidupan beragama akan mampu mewujudkan pribadi-pribadi yang seimbang. Pranowo juga menegaskan bahwa semua aspek kehidupan spiritualitas manusia pada hakikatnya terpulang kepada manusia itu sendiri, apakah ia akan menundukan sukmanya kepada kehidupan yang berorientasi pada kebutuhan jasadi yang bersifat kini dan di sini (sukma dhulmani, sukma yang berada dalam kegelapan), ataukah ia akan mengarahkan sukmanya sehingga sang sukmalah yang memimpin kebutuhan jasadi agar senantiasa berada dalam terpaan cahaya ilahi (Pranowo dalam Rahman, 1995: 200).


DAFTAR KEPUSTAKAAN

Al Ghazali. Cet IV 1998. Ihya’ Ulumuddin Jilid 4, terj: Ismail Yakub. Singapore: Pustaka Nasional.
Al-Ghazali, Muhammad. 2001. Menghidupkan Ajaran Rohani Islam. terj. Cecep Bihar Anwar. Jakarta: Lentera.
As-Samarqandi, Al-Faqih Abul Laits. 1995. Tanbihul Ghafilin Nasehat Bagi yang Lalai Jilid I. terj: Abu Juhaidah. Jakarta: Pustaka Amani.
Bani, Suddin. “Zuhud dalam Perspektif Hadist”, dalam Al-Fikr Vol. 14 No. 1 (Makassar 2010): pp. 111-120.
Jumantoro, Totok dan Syamsul Munir Amin. 2005. Kamus Ilmu Tasawuf. (Jakarta: Amzah).
Muhammad, Hisyam. 2002. Dialog antar Tasawuf dan Psikologis; Telaah atas Pemikiran Psikologis Humanistik Abraham Maslow. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Noer, Kautsar Azhari. 2003. Tasawuf Perenial; Kearifan Kritis Kaum Sufi. Jakarta: Serambi.
Rahman, Budhy Munawar, (ed). Cet II 1995. Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta: Yayasan Paramadina.
Rahmat, Jalaluddin. Cet IX 1999. Membuka Tirai Kegaiban; Renungan-Renungan Sufistik. Bandung: Mizan.
Rusli, Muh & Rakhmawati. Sumbangsih Islam dalam Menanggulangi Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern; Telaah atas Pemikiran Tasawuf Sayed Husein Nasr, dalam Jurnal Al-Farabi Vol. 11 No. 1 (Makassar: Juni 2014).
Syukur, Amin. 2000. Zuhud Abad Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Taufiq, Imam. 2001. Maqamat dan Hal Tinjauan Metodologis; Tasawuf dan Kritis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ulya, Rofiatul. 2003. Zuhud dari Zaman ke Zaman. Skripsi, Fakultas Ushuluddin UIN Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar