Oleh:
Muhammad Kholil Ridwan: 215-13-003
Ayusta Gilang Wanodya: 215-14-001
Novita Intan Purwasih: 215-14-002
Jurusan Ilmu Alquran dan Tafsir Fakultas Ushuluddin, Adab dan Humaniora
IAIN Salatiga (2015)
ABSTRAK
Maqamat adalah jalan spiritual yang harus dilalui para sufi dalam mencapai
tujuan idealnya, melalui proses purifikasi jiwa terhadap kecenderungan materi
agar kembali kepada jalan Tuhan. Di dalam maqamat, terdapat tingkatan yang
bernama wara’ dan zuhud. Wara adalah nilai kesucian diri, artinya menahan diri,
berhati-hati, atau menjaga diri supaya tidak jatuh pada kecelakaan. Sedangkan
zuhud berarti suatu sikap hidup di mana seseorang tidak terlalu mementingkan dunia atau harta kekayaan, karena harta kekayaan
dunia ini hanya merupakan sarana atau alat untuk mencapai tujuan kehidupan akhirat. Problematika spiritual bagi manusia modern
merupakan hal yang tidak mudah untuk dipecahkan. Dengan tanpa mengingkari
berbagai kemajuan dan keberhasilan eksistensinya serta positivisme telah
melahirkan manusia pincang yang hanya berorientasi kekinian (keduniaan)
sehingga akibatnya mengingkari spiritualitas dari agama. Manusia yang
rasionalistik dengan penuh kemodernan menganggap dunia spiritual semakin tidak
penting. Untuk itulah, bagimana konsep maqamat wara’ dan zuhud
diimplementasikan dalam kehidupan modern tanpa berbenturan dengan kehidupan
modern itu sendiri. Bagaimana konsep tasawuf tidak ditolak oleh masyarakat
modern. Sehingga spiritualitas masyarakat modern dapat terdidik secara perlahan
menggunakan konsep tasawuf.
Kata Kunci: Maqamat,
Zuhud, Wara, Masyarakat Modern, Spiritualitas
A. Pendahuluan
Berbicara mengenai tasawuf tidak bisa terlepas
dari istilah maqamat. Maqamat merupakan sarana spiritual seseorang dalam
berkomunikasi dengan Tuhan, Dzat tempat berasal dan kembali segala sesuatu yang
ada di jagad raya ini. Maqamat merupakan cara untuk mencapai tujuan
ideal para sufi melalui proses purifikasi jiwa terhadap kecenderungan materi
agar kembali pada cahaya Tuhan (Taufiq, 2001: 128).
Maqam yang arti dasarnya “tempat berdiri”, dalam
terminologi sufistik berarti tempat atau martabat seorang hamba dihadapan Allah
pada saat ia berdiri menghadap kepada-Nya. Ia merupakan proses training melatih
diri dalam hidup kerohanian (riyadhah), memerangi hawa nafsu (mujahadah)
dan melepaskan kegiatan dunia untuk semata-semata berbakti kepada Tuhan. Maqamat
atau kedudukan-kedudukan merupakan tingkatan-tingkatan rohani yang dapat
dilalui orang yang berjalan kepada Allah SWT dan akan berhenti sang salik dalam
satu saat tertentu dan berjuang dalam lingkarannya, sehingga Allah memudahkan
menempuh jalan menuju tingkat kedua agar dia meningkat pada ketinggian rohani
dan dalam keadaan mulia, menuju keadaan yang lebih tinggi lagi. Hal itu seperti
dikutip oleh Rofiatul Ulya dari Al-Ghazali yang menerangkan tinggkatan dari at-taubah
menuju al-wara’, menuju zuhud dan demikianlah jalannya sehingga
mencapai tingkatan mahabbah (kecintaan) dan ridho (Ulya, 2003: 2).
Dalam salah satu maqamat tasawuf
terdapat istilah wara’dan zuhud. Wara ialah meninggalkan segala sesuatu
yang belum jelas hukumnya (subhat), sedangkan dalam tradisi sufi wara
berarti meninggalkan segala hal yang berlebihan, baik berwujud benda maupun
perilaku. Lebih dari itu juga meninggalkan segala hal yang tidak bermanfaat,
atau tidak jelas manfaatnya (Muhammad, 2002: 30). Sedangkan zuhud yakni
lepasnya pandangan keduniaan dan usaha memperolehnya dari diri orang yang
sebetulnya mampu untuk memperolehnya (Pranowo dalam Rahman, 1995: 199).
Realitas yang terjadi dalam kehidupan modern,
memiliki banyak tantangan masalah keberagamaan. Salah satunya ialah masalah
spiritualitas manusia modern. Perkembangan tekhnologi canggih dan rasionalitas
yang amat tinggi sehingga meninggalkan dimensi-dimensi spiritual. Nantinya
menghasilkan manusia yang hedonis. Untuk itulah, dalam kehidupan modern seperti
ini, hendaknya manusia tetap melakukan keseimbangan hidup. Adanya dimensi
rasionalitas, ada juga dimensi spiritualitas. Konsep tasawuf sejatinya telah
mengajarkan hal demikian. Adanya keseimbangan antara kehidupan di dunia dan di
akhirat. Wara dan zuhud berusaha menuntun manusia untuk kembali kepada
fitrahnya yang lurus (hanif). Menghilangkan kekerasan hati di dalam
manusia. Menurut Jalaludin Rahmat wara dan zuhud memiliki derajat nilai
kesucian dan kesehatan jiwa dalam membangun spiritualitas masyarakat modern.
Oleh karena itu, bagimana konsep maqamat wara dan zuhud dipahami dalam
kehidupan modern. Serta apa implikasi masyarakat modern mengamalkan sikap wara
dan zuhud dan bagaimana konsep wara dan zuhud mampu ditransformasikan dalam
kehidupan masyarakat modern sebagai pembinaan spiritualitas.
B. Maqamat Wara dan Zuhud
Maqamat adalah jamak dari maqam, yang
berarti tempat atau kedudukan (stations). Dalam Sufi Terminology: The
Mystical Language of Islam, maqam diterjemahkan sebagai kedudukan
spiritual. Karena sebuah maqam diperoleh melalui daya upaya (mujahadah)
dan ketulusan dalam menempuh perjalanan spiritual. Namun sesungguhnya perolehan
tersebut tidak lepas dari karunia yang diberikan oleh Allah SWT. Suatu maqam
tidak lain adalah merupakan kualitas kejiwaan yang bersifat tetap. Inilah yang
membedakannya dengan keadaan spiritual (hal) yang bersifat sementara. Seseorang
tidak dapat beranjak dari satu maqam ke maqam lain sebelum ia
memenuhi semua persyaratan yang pada maqam tersebut. Sebagaimana
digambarkan oleh al-Qusyairi bahwa seseorang yang belum sepenuhnya wara
tidak bisa mencapai zuhud begitupun seterusnya (Muhammad, 2002: 25).
Definisi Wara
Al-wara' menurut bahasa jika dikatakan, "wara'a
yara'u war'an wa wara'an wa wari'atan." artinya menjaga dan
menghindari dari hal-hal yang diharamkan kemudian digunakan juga untuk perbuatan
menahan diri dari hal-hal yang mubah. pelakunya disebut wari'un wa
mutawarri'un. lafazh wari'a yaura'u wa yauri'u
artinya menjadi orang yang wara'. tawarra'a minal-amri
artinya menjauhinya. Al-wara’a dapat menggerakkan ketakwaan.
Menurut pengertian terminologis, al-wara'
artinya menahan diri dari hal-hal yang dapat menimbulkan madharat lalu
menyeretnya kepada hal-hal yang haram dan syubhat, karena syubhat ini dapat
menimbulkan mudharat. sesungguhnya, siapa yang takut kepada syubhat maka dia
telah membebaskan kehormatan dan agamanya, dan siapa yang berada dalam syubhat
berarti dia berada dalam hal yang haram, seperti penggembala di sekitar tanaman
yang dijaga, yang begitu cepat dia masuk ke dalamnya.
Menurut al-Jurjanji, wara adalah menghindari hal-hal
yang syubhat (samar) karena takut terjerumus ke dalam hal-hal yang haram. Muhammad
ibnu Allan ash-Shidqi menyatakan bahwa menurut para ulama, wara adalah
meninggalkan apa-apa yang boleh untuk menghindari diri dari apa-apa yang tidak
boleh. Sedangkan menurut Ibnu Ujaibah, wara adalah menahan diri dari
berbuat sesuatu yang dampaknya makruh.
Seperti juga dikatakan oleh Jalaluddin Rahmat dalam
bukunya Renungan-Renungan Sufistik mendefinisikan wara sebagai
nilai kesucian diri. Orang Islam mengukur keutamaan, makna atau keabsahan
gagasan dan tindakan, dari sejauh mana keduanya memproses penyucian diri.
Jalaluddin Rahmat juga mengatakan bahwa kata wara tidak terdapat dalam
Alquran. Secara harfiah wara artinya menahan diri, berhati-hati, atau
menjaga diri supaya tidak jatuh pada kecelakaan (Rahmat, 1999: 101).
Sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin Rahmat (1999) dari
Ibn Qayyim Al-Jawziyah, dalam Madarij
Al-Salikin 2: 23, membagi wara dalam tiga tahap: tahap meninggalkan
kejelekan, tahap menjauhi hal yang diperbolehkan karena kuatir jatuh pada hal
dilarang, dan tahap menjauhi apa saja yang membawa orang kepada selain Dia.
Menurut Ibn Qayyim juga, tahap pertama mempunyai tiga fungsi perlindungan diri,
peningkatan kebaikan, dan pemeliharaan iman (Rahmat, 1999: 104).
Adapun yang menjadi dasar ajaran wara sebagaimana
dikutip oleh Hasyim Muhammad dari al-Qusyairi adalah sabda Nabi SAW yang
artinya “Sebagian dari kebaikan tindakan keislaman seseorang adalah bahwa ia
menjauhi sesuatu yang tidak berarti.” Juga ada hadist lain yang artinya: “Bersikaplah
wara dan kamu akan menjadi orang yang paling taat beribadah” (Muhammad,
2002: 31-32).
Lebih lanjut Hasyim Muhammad menulis, bahwa para ahli
tasawuf juga membagi wara pada dua bagian, yaitu wara yang
bersifat lahiriyah dan wara yang bersifat batiniyah. Wara lahiriyah
berarti meninggalkan segala hal yang tidak diridhai oleh Allah, sedangkan wara
bathiniyah berarti tidak mengisi atau menempatkan sesuatu di hatinya kecuali
Allah (Muhammad, 2002: 32).
Menurut Muhammad Al-Ghazali dalam bukunya Menghidupkan
Ajaran Rohani Islam menerangkan bahwa makna wara tidak terletak pada
persoalan bisa atau tidaknya seseorang menghadapi berbagai masalah yang baru
muncul dengan hukum Allah. Bukan itu yang dimaksud dengan wara. Sebab,
muslim dengan sekuat tenaga mencari kebenaran dan menghadapi segala persoalan
dan hukum dengan hati nurani. Jika hatinya merasa tentram dengan apa yang
diterimanya, maka ia menjatuhkan pilihan kepadanya tanpa rasa khawatir. Jika
hatinya benci dengan prilaku atau pandangan tertentu, maka ia menjauhinya
(Al-Ghazali, 2001: 274).
Tanda-Tanda Orang yang Bersikap Wara
Menurut Al-Faqih, bukti adanya wira'i (wara')
dalam diri seseorang adalah jika dalam diri orang tersebut telah ada sepuluh
kewajiban, yaitu:
1. Memelihara lisan, tidak sampai ghibah atau menggunjing. Firman Allah SWT
dalam surah al-Hujurat ayat 12 yang artinya, "Janganlah setengah di
antara kamu menggunjing terhadap setengah lainnya."
2. Tidak buruk sangka. Firman Allah SWT dalam surah al-Hujurat ayat 12 yang
artinya, "Hindarkanlah prasangka buruk, karena setengahnya adalah
dosa." Dalam hadits Nabi SAW dijelaskan yang artinya, "Hati-hatilah
kamu dari prasangka buruk, karena hal itu adalah perkataan paling bohong."
3. Tidak menghina (merendahkan) orang lain. Firman Allah SWT dalam surah
al-Hujurat ayat 11 yang artinya, "Janganlah suatu kaum menghina kaum
lainnya, boleh jadi kaum yang dihina itu adalah lebih baik dari pada kaum yang
menghina."
4. Memelihara pandangan mata dari yang haram. Firman Allah SWT dalam surah Nur
ayat 30 yang artinya, "Katakanlah, ada orang-orang mukmin agar
memejamkan pandangan matanya dari yang haram."
5. Berbicara benar. Firman Allah SWT dalam surah al-An'am ayat 152 yang
artinya, "Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku
adil."
6. Mengingat nikmat Allah SWT yang telah diberikan kepadanya agar tidak
sombong. Firman Allah SWT dalam surah al-Hujurat ayat 17 yang artinya, "Bahkan
Allah-lah yang memberi karunia kepadamu ketika kau diberi petunjuk, sehingga
kau beriman. Jika kau benar-benar beriman."
7. Menggunakan hartanya dalam jalan kebenaran, bukan pada kebatilan. Firman
Allah SWT dalam surah al-Furqan ayat 67 yang artinya, "Orang-orang yang
membelanjakan hartanya tiada berlebihan dan tiada kikir, mereka tengah-tengah
(berlaku sedang) dalam hal itu."
8. Tidak ambisi kedudukan dan tidak pula berlaku sombong. Firman Allah SWT dalam
surah al-Qashash ayat 83 yang artinya, "Negeri akhirat sengaja Kami
sediakan bagi mereka yang tidak ambisi kedudukan dunia dan tidak pula suka
merusak."
9. Memelihara (waktu) sholat dan menyempurnakan ruku’ dan sujudnya. Firman
Allah SWT dalam surah al-Baqarah ayat 238 yang artinya, "Peliharalah
(waktu-waktu) sholat, terutama sholat pertengahan, tegakkanlah dengan khusyu',
diam bermunajat."
10. Istiqomah mengikuti sunnah Rasul dan jamaah umat Islam. Firman Allah SWT
dalam surah al-An'am ayat 153 yang artinya, "Inilah ajaran yang menuju
kepada keridhoan-Ku (jalan lurus-benar), lalu ikutilah, jangan mengikuti
jalan-jalan lain, (jika demikian), pasti menyimpang jauh dari jalan Allah.
Demikianlah pesan Dia kepadamu agar kamu bertakwa."
Oleh karena itu, hendaknya kita senantiasa berhati-hati
terhadap segala sesuatu yang serupa dengan wara' yang berlebih-lebihan.
Karena meskipun tidak membahayakan, namun dapat menjadikan seseorang lupa
dengan sesuatu yang lebih penting karena sibuk dengan wara' yang
berlebih-lebihan. Seperti halnya orang yang sedang bersuci, karena berlebih-lebihan
mencari air dan menganggap ini terkena najis, ini makruh dan lain sebagainya.
Akhirnya ia tidak jadi bersuci. Hal seperti inilah yang seharusnya tidak perlu
terjadi. Tidak seyogyanya manusia itu mengerjakan wara' yang rumit-rumit
kecuali orang yang alim dan kokoh hatinya. Sebab orang yang alim dan kuat
pendiriannya, jika melampaui batas dari garis ketentuan maka dengan sendirinya
ia akan membalikkan diri sehingga tidak melampaui batas syara' yang ditentukan.
Keutamaan Wara
Dari uraian di
atas, dapat di simpulkan bahwa wara adalah sikap yang menghimpun semua
sifat yang sempurna. Wara merupakan ibadah yang paling tinggi
derajatnya, menurut wasiat Nabi SAW kepada Abu hurairah dalam sabdanya:
“wahai abu hurairah, jadilah engkau orang yang
wara, niscaya engkau akan menjadi yang paling taat ibadahnya” ( HR. Ibnu Majah)
Dengan demikian, wara merupakan medium untuk meraih beragam karunia
yang paling agung dari Tuhan. Yahya ibn muadz bekata, “barang siapa tidak
memperhatikan hal yang kecil dari wara, maka dia tidak akan meraih hal agung
dari karunia.” Karena besarnya fungsi wara, tingginya derajatnya dan
besar pengaruhnya, maka Rasulullah menganjurkan untuk bersifat wara
dalam banyak haditsnya:
“seseorang tidak akan mencapai derajat muttaqin
(orang yang bertaqwa) sampai dia meninggalkan apa-apa yang boleh demi
menghindari apa- apa yng tidak boleh” ( HR. Tirmidzi)
Ketika para pemuka sufi mewujudkan sifat wara pada diri mereka,
mereka telah menyegarkan ingatan kita tentang sifat wara para sahabat
dan tabiin. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa:
pada suatu ketika Abu Bakar ash- Shidiq memakan
makanan yang dibawa oleh salah seorang budak beliau. Lalu budak beliau
mengatakan bahwa di dalam makanan itu terdapat syubhat. Mengetahui hal itu,
beliau langsung memasukkan tangannya kedalam mulut dan memuntahkan semua
makanan yang ada dalam perutnya. (HR. Bukhori)
Para sufi tidak berlaku wara melainkan sebagai
wujud peneladanan mereka terhadap jejak Rasulullah dan para sahabatnya, sebagai
akibat dari pengaruh cinta mereka kepada Allah dan keteguhan mereka dalam
memegang petunjuknya, dan sebagai buah dari ketakutan mereka terjerumus ke
dalam jurang pelanggaran atas aturan Allah. Sebab, barang siapa telah merasakan
manisnya iman, niscaya Allah akan memuliakannya dengan sifat taqwa. Dan barang
siapa telah mewujudkan sifat taqwa dalam dirinya, niscaya dia akan bersikap
wara, takut kepada Allah dan berharap akan karunia-Nya. Syah al-Karmani berkata,
“tanda taqwa adalah wara. Tanda wara adalah menjauhi segala yang
syubhat. Tanda khauf adalah kesedihan dan tanda raja adalah melakukan ketaatan
dengan baik.”
Hakekat Zuhud
Kata
zuhud berasal dari bahasa Arab yang memiliki akar kata zahada - yazhadu
- zuhdan yang artinya meninggalkan, tidak
menyukai dan menjauhkan diri dari. Menurut Lois ma’luf dalam totok Jumantoro
(2005: 296), kata zuhud berasal dari bahasa Arab yaitu kata zahada artinya
ragaba ‘anhu wataraka (benci dan meninggalkan sesuatu), zahada fi ad-dunyā yang
artinya mengosongkan
diri dari kesenangan dunia untuk ibadah. Orang yang melakukan
zuhud disebut zāhid, zuhhād, atau zāhidūn. Jadi zuhud ialah
suatu sikap hidup di mana seseorang tidak terlalu mementingkan dunia atau harta kekayaan,
karena harta kekayaan dunia ini hanya merupakan sarana atau alat untuk mencapai tujuan
kehidupan akhirat. Pengertian lain yang dimaksud zuhud adalah tidak merasa
bangga terhadap kemewahan dunia yang dimiliki dan tidak merasa sedih ketika kehilangan harta. Kebalikan
dari zuhud adalah hubbuddun-ya artinya cinta dunia.
Zuhud merupakan sikap seseorang dalam memandang dunia,
sehingga Al-Ghazali membagi
zuhud menjadi tiga tingkatan. Tingkat pertama adalah zuhud terhadap dunia akan
tetapi hatinya masih condong kepada dunia, kemudian sifat condong kepada dunia
tersebut diperanginya.
Tingkat ini disebut al-Mutazahid (orang yang berusaha zuhud) atau
disebut dengan pendahulu zuhud. Tingkat kedua meninggalkan dunia dengan hati yang ikhlas, karena menganggap
dunia ini hina dan akhiratlah tujuan yang sebenarnya. Dan memfokuskan
tujuan hidup di dunia untuk bekal di akhirat. Tingkat ketiga
ialah zuhud didalam kėzuhudān. Orang ini tidak mengetahui
dirinya zuhud, sebab dia mengetahui bahwa dunia seisinya tidak sebanding
dengan Allah SWT. Zuhud ini muncul kerena telah ma’rifat kepada Allah
SWT.
Dalam pemahaman ini menurut Amin Syukur dalam
bukunya Zuhud Abad Modern menuliskan bahwa zuhud berarti tidak merasa
bangga atas kemewahan dunia yang telah ada di tangan, dan tidak merasa bersedih
karena kehilangan kemewahan itu dari tangannya. Zuhud bukanlah suatu
kependetaan atau terputusnya dunia, akan tetapi merupakan hikmah pemahaman yang
membuat manusia memiliki pandangan khusus terhadap kehidupan dunia itu, mereka
tetap bekerja dan berusaha namun kehidupan tidak bisa menguasai kecenderungan
kalbunya dan tidak membuat mengingkari Tuhan (Syukur, 2000: 4).
Walaupun Abu Bakr Muhammad al-Waaraq
mengartikan kata zuhud (z, h, d), mengandung arti tiga hal yang mesti
ditinggalkan. Huruf “z” berarti zinah (perhiasan, kehormatan), huruf “h”
berarti hawa (keinginan) dan huruf “d” berarti menuju kepada dunia
(materi). Akan tetapi, orang yang
bersikap zuhud tidak boleh meninggalkan kepentingan dunia untuk kepentingan
akhirat. Islam menganjurkan adanya keseimbangan hidup untuk di dunia dan bekal di
akhirat kelak. Zuhud dengan sikap meninggalkan
dunia secara berlebihan sama tercelanya dengan mereka yang mengejar kehidupan
di dunia tanpa
memperdulikan urusan akhirat. Seperti yang dijelaskan oleh Kautsar Azhari Noer bahwa
Islam adalah agama yang sangat menekankan pada keseimbangan, memanifestasikan
dirinya dalam kesatuan syariah (hukum Tuhan) dan thariqah (jalan
spiritual sering disebut sufisme atau tasawuf). Azhari Noer menambahkan bahwa
landasan metafisis bagi pemeliharaan keseimbangan antara aspek lahiriah dan
aspek batiniah dengan keharusan menyatukan syariah dan thariqah
adalah teori bahwa alam dan seluruh isinya adalah “penampakan diri” (tajali,
self-disclosure, theophany) Tuhan, yaitu penampakan nama-nama dan
sifat-sifat Tuhan. Teori “penampakan diri” Tuhan adalah teori dasar Tasawuf
(Noer, 2002:20-21).
Manfaat Zuhud
dalam Kehidupan
Berpatokan
pada uraian sebelumnya zuhud dapat posisikan sebagai sebuah
kondisi atau kedudukan hati karena merupakan usaha pengosongan hati
terhadap kecenderungan tentang kecintaan kepada dunia, sehingga hati seorang
zahid tidak lagi tertarik kepada dunia karena tujuan utamanya yaitu menuju
Allah SWT. Sehingga
hal di atas tentunya zuhud bukanlah bermaksud menanggalkan semua harta
bendanya, lalu kemudian menitipkan keluarganya kepada orang lain, tetapi
yang dimaksud; zuhud terhadap dunia ini bukanlah dengan cara mengharamkan
barang yang halal ataupun tak mau menggunakan apa yang ada
pada Allah dari pada apa yang ada pada diri kita sendiri dan seandainya engkau
ditimpa musibah engkau menerima dengan lapang dada.
Berdasarkan
uraian-uraian sebelumnya berikut beberapa manfaat
zuhud untuk
mengingatkan kita bahwa dunia ini adalah fana. Pertama, menyadari bahwa
dunia ini fana yang mudah sirna dan hanya khayalan yang lewat sejenak.
Apapun aktifitas yang dilakukan – jika dilakukan
semata-mata untuk dunia – maka
itu tidak menjamin keselamatan, oleh karena itu dunia hanya persiapan
berangkat menuju akhirat yang abadi dan diuji dengan berbagai cobaan.
Meskipun demikian Quraish Shihab mengatakan kita tidak
boleh salah faham lantas mencacimaki dunia apalagi mengabaikannya karena ia
adalah kebenaran
dan jalan untuk mencapai akhirat. Kedua, manusia harus menyadari bahwa setelah
kehidupan dunia ada kehidupan yang agung. Ketiga, Menyadarkan kepada manusia bahwa zuhud tidak harus meninggalkan kewajiban yang menjadi tanggung
jawabnya. Keempat, tidak sombong karena hanya bersandar kepada Allah SWT, tidak memakan barang haram, sifat serakah akan hilang, tidak tamak,
tidak kikir karena gemar bersedekah untuk menghilangkan ketergantungan
kepada harta.
C. Membangun Spiritual Masyarakat Modern
Pada
abad ke-19 sampai abad 20 masehi yang
dikenal sebagai zaman modern, tentunya kondisi dan situasinya berbeda-beda dengan masa
sebelumnya. Secara kontekstual peran yang dimainkan umat Islam masa kini, baik
secara individual
maupun secara kolektif, berbeda dengan masa sebelumnya, sehingga
rumusan konsep tasawuf perlu disesuaikan dengan konteksnya.
Nurcholish
Majid memandang bahwa abad modern sebagai abad
tekhnolisme yang mengabaikan harkat kemanusiaan. Segi kekurangan
paling serius dari abad modern ini, katanya, ialah ihwal yang
menyangkut diri kemanusiaan yang paling mendalam, yaitu bidang
kerohanian. Hal Senada juga disampaikan Sayed Husein Nasr bahwa
manusia modern telah tersesat dalam sebuah dunia yang telah kehabisan
nilai sakralnya disebabkan menuhankan ilmu pengetahuan.
Jadi, tokoh-tokoh di abad modern seperti Nurcholish Madjid,
Iqbal dan Husein Nasr memiliki pandangan yang berbeda dengan
tokoh klasik seperti Hasan al-Basri, Rabiatul Adawiyah, Ibrahim
ibn Adham dan lainnya. Tokoh tasawuf klasik memandang dunia
sebagai sesuatu yang harus dijauhi dengan dasar dunia bisa menutupi
hati (hijab). Berbeda dengan Iqbal yang berpandangan bahwa
dunia adalah sesuatu yang haq. Manusia sebagai khalifah Allah,
“teman sekerja” Tuhan harus aktif membangun “Kerajaan di dunia”,
karena Tuhan belum selesai menciptakan alam ini. Manusialah
yang harus menyelesaikannya. Dan sejalan dengan itu, Sayyed
Husein Nasr menandaskan agar seseorang mempunyai keseimbangan
antara ilmu dan amal, antara kontemplasi dan aksi, dan jangan
sampai menjadi biarawan Husein Nasr menekankan pentingnya manusia
modern untuk kembali kepada Tuhan-Nya, memahami makna esensi dari ajaran agama sehingga
mampu keluar dari belenggu kehampaan spiritual yang melanda
manusia dewasa ini. (Rusli dan Rahmawati, 2014: 1-2).
Menurut Fazlur
Rahman sebagaimana dikutip Amin Syukur, mempunyai pandangan yang sangat positif terhadap dunia.
Dia menolak pandangan negatif dan menjauhkan diri dari dunia,
manusia harus aktif dan berpikir positif terhadap dunia. Bahkan
ia mencita-citakan neosufisme, yaitu sufisme yang cenderung
menumbuhkan aktivisme terhadap dunia. Begitupun dengan Hamka,
sebagai ulama Indonesia, sebagaimana dikutip oleh Amin Syukur,
mempunyai pandangan yang positif pula terhadap dunia, dan
zuhud merupakan sikap jiwa yang tidak ingin dan tidak demam
terhadap harta, serta tidak terikat oleh materi. Harta boleh
dimiliki tetapi diperuntukkan pada hal-hal yang bermanfaat. Dia
menyatakan bahwa manusia harus menciptakan keseimbangan
antara kebutuhan jasmani dan rohani, antara materi dan non
materi. Lebih dari itu, mereka harus aktif di atas dunia
ini.
Sebagaimana
yang diungkapkan Sudirman Tebba, bahwa sikap zuhud tidak berarti hidup miskin atau enggan bekerja sehingga hidup
melarat. Dalam
konteks pekerjaan, zuhud itu berarti mengerjakan pekerjaan halal atau bekerja
dengan cara yang halal, kemudian hasilnya tidak dihambur-hamburkan dalam
perbuatan maksiat. Selain menjauhi pekerjaan syubhat dan haram, zuhud
juga menghendaki manusia untuk memenuhi kewajiban, termasuk mencari
nafkah untuk kelangsungan hidup bagi diri sendiri maupaun keluarga. Dilihat
dari sisi ini, zuhud justru mengandung etos kerja yang tinggi. Karena, zāhid
seharusnya senantiasa bekerja keras. Dengan kerja keras dan sikap profesional,
kebahagiaan dunia dan akhirat dapat diraih.
Hal
tersebut didukung oleh Fazlur Rahman sebagaimana dikutip Amin
Syukur yang tidak setuju dengan pola sikap sufi yang pesimisme dan
isolasinisme, karena jauh dari ajaran al-Quran. Tujuan utama al-Quran ialah
tegaknya tata sosial yang bermoral, adil dan dapat bertahan di muka bumi.
Kesucian seseorang bukan karena keterasingan dari dunia dan proses sosial,
tetapi berada dalam gerakan menciptakan sejarah. Begitupun al-Qushasi
pernah menghimbau kaum muslim agar meninggalkan kemalasan dan kebodohan
dengan menggunakan waktu untuk tujuan-tujuan yang bermanfaat. Dia
menekankan agar kaum muslimin menjalankan tugas-tugas keduniaan untuk
mencapai pemenuhan spiritual. Menurutnya sufi yang sebenarnya bukanlah
sufi yang mengalienasikan diri dari masyarakat, melainkan sufi yang menyeru
kepada kebaikan dan mencegah kepada kemungkaran, membantu orang
sakit dan miskin serta membebaskan mereka yang tertindas.
Pentingnya
menjaga keseimbangan mental dengan penghayatan zuhud secara
benar, menjadi suatu yang tidak dapat dipungkiri. Ini lebih-lebih
bila disadari bahwa zaman modern saat ini, menyebabkan
manusia modern makin sarat dengan pemujaan kreasi pengetahuan
teknologi, meterialistik, dan gaya hidup hedonis. Kian jauh dari
dimensi spiritual. Hossein Nasr sebagaimana dikutip Amin
Syukur, inti dari way of life dalam Islam adanya keseimbangan
kontemplasi dan aksi, ma’rifatullah dan amal shalih
serta orientasi pada aspek batin dan aspek lahir yang ada
dalam diri manusia. Menyandarkan pada keteladanan Nabi Muhammad
SAW, yang menintegrasikan antara jasmani dan rohani, lahir
dan batin.
Pada
hakikatnya dunia bukanlah tercela, tapi yang tercela adalah perbuatan
hambanya. Hal ini ditegaskan oleh Al-Manawi sebagaimana dikutip oleh Abdul
Qadir Isa, dunia tidaklah tercela karena dirinya
sendiri. Dunia adalah ladang akhirat yang menghantarkan manusia menuju
surga atau neraka. Barang siapa memanfaatkan dunia dengan menjaga peraturan-peraturan
syariatnya, maka dunia tersebut akan menolongnya untuk mencapai
akhirat (surga). Oleh arena itu, dikatakan, jangan engkau bersandar pada
dunia, karena dia tidak kekal bagi seseorang. Dan janganlah engkau meninggalkannya,
karena akhirat tidak akan didapat kecuali dengannya.
Namun,
jika dunia ini didominasi oleh hawa nafsu, keinginan untuk meraih kesenangan,
kelalaian, serta kehidupan jauh dari Allah, maka keadaan yang akan
meliputi para penghuni dunia dan kehidupannya, akan tercela dalam keadaan
bagaimanapun. Sebenarnya anjuran zuhud di dunia merupakan teguran,
agar tidak selalu mementingkan duniawi, sehingga mengabaikan urusan
akhirat. Semua itu dimaksudkan agar manusia berada pada derajat yang terbaik
disisi Tuhannya, sebagai balasan apa yang telah mereka kerjakan di dunia.
Dengan
demikian, seorang zahid dilarang mengisolasikan
diri dan eksklusif dari kehidupan ini. Sebaliknya mereka wajib bekerja
keras, mencari bekal hidup di dunia dan hasilnya diperuntukan untuk kebaikan.
Dunia ini tempat berkiprah dengan amal shalih, yang hasilnya akan dipetik
di akhirat kelak. Kiprah mereka di atas dunia, sejalan dengan fungsi kekhalifahanya
yang mempunyai tugas untuk memakmurkan, menegakkan kebenaran dan keadilan, motivator dan dinamisator pembangunan di
atas muka
bumi.
M. Bambang Pranowo menerangkan bahwa pola
kehidupan yang semata-mata dipimpin oleh otak (head) dan ketrampilan
tekhnologi (hand), itu perlu diimbangi dan dikendalikan dengan
kebeningan hati (heart). Maka, melalui sudut pandang kesufian kiranya
kehidupan beragama akan mampu mewujudkan pribadi-pribadi yang seimbang. Pranowo
juga menegaskan bahwa semua aspek kehidupan spiritualitas manusia pada
hakikatnya terpulang kepada manusia itu sendiri, apakah ia akan menundukan
sukmanya kepada kehidupan yang berorientasi pada kebutuhan jasadi yang bersifat
kini dan di sini (sukma dhulmani, sukma yang berada dalam kegelapan),
ataukah ia akan mengarahkan sukmanya sehingga sang sukmalah yang memimpin
kebutuhan jasadi agar senantiasa berada dalam terpaan cahaya ilahi (Pranowo
dalam Rahman, 1995: 200).
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Al Ghazali. Cet IV 1998. Ihya’ Ulumuddin
Jilid 4, terj: Ismail Yakub. Singapore: Pustaka
Nasional.
Al-Ghazali, Muhammad. 2001. Menghidupkan Ajaran Rohani
Islam. terj. Cecep Bihar Anwar. Jakarta: Lentera.
As-Samarqandi, Al-Faqih Abul
Laits. 1995. Tanbihul
Ghafilin Nasehat Bagi yang Lalai Jilid I. terj:
Abu Juhaidah. Jakarta: Pustaka Amani.
Bani, Suddin. “Zuhud dalam Perspektif Hadist”, dalam Al-Fikr
Vol. 14 No. 1 (Makassar 2010): pp. 111-120.
Jumantoro,
Totok dan Syamsul Munir Amin. 2005. Kamus Ilmu Tasawuf. (Jakarta:
Amzah).
Muhammad, Hisyam. 2002. Dialog antar Tasawuf dan
Psikologis; Telaah atas Pemikiran Psikologis Humanistik Abraham Maslow.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Noer, Kautsar Azhari. 2003. Tasawuf Perenial; Kearifan
Kritis Kaum Sufi. Jakarta: Serambi.
Rahman, Budhy Munawar, (ed). Cet II 1995. Kontekstualisasi
Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta: Yayasan Paramadina.
Rahmat, Jalaluddin. Cet IX 1999. Membuka Tirai
Kegaiban; Renungan-Renungan Sufistik. Bandung: Mizan.
Rusli, Muh & Rakhmawati. Sumbangsih Islam dalam Menanggulangi Kehampaan
Spiritual Masyarakat Modern; Telaah atas Pemikiran Tasawuf Sayed Husein Nasr, dalam Jurnal Al-Farabi Vol. 11 No. 1
(Makassar: Juni 2014).
Syukur, Amin. 2000. Zuhud Abad Modern. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Taufiq, Imam. 2001. Maqamat dan Hal Tinjauan Metodologis;
Tasawuf dan Kritis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ulya, Rofiatul. 2003. Zuhud dari Zaman ke Zaman. Skripsi,
Fakultas Ushuluddin UIN Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar