MENAKAR KEMBALI NILAI KEPERAWANAN PEREMPUAN
Oleh: MK Ridwan
Perempuan adalah makhluk Tuhan yang diciptakan dengan
segala kelebihan dan kemuliaannya. Bukan itu saja, bahkan jika perempuan
berhasil menjadi seorang ibu derajatnya akan tiga kali lipat di atas kaum
bapak. Akan tetapi, perempuan rentan akan noda sosial. Kesalahan dalam
melangkah akan justru menghilangkan kelebihan dan kemuliaannya digantikan
dengan kehinaan. Sejarah mencatat bahwa kaum wanita, memang selalu tersubordinasikan
dari kaum laki-laki. Perempuan sering diperlakukan tidak wajar, bahkan tidak
dianggap layaknya manusia.
Hal itu bisa saja terjadi akibat seorang perempuan
terlalu mengagung-agungkan atau mendewakan keperawanannya. Justru melupakan
moral jati dirinya. Kaum perempuan menganggap bahwa menjaga keperawan jauh
lebih terhormat ketimbang membina moral jati diri. Keperawanan seringkali
dipahami secara sangat dangkal oleh sebagian masyarakat, dan kehilangan
“keperawanan” (dalam pengertian biologis dan anatomis) telah dipandang sebagai
hal menakutkan – lebih menakutkan dari kehilangan nilai-nilai moral itu
sendiri.
Menurut Zulkarnain Abdullah dalam bukunya Mengapa
Harus Perempuan menulis bahwa selembar selaput dara seakan-akan identik
dengan sebuah kehormatan. Maksudnya, kehormatan itu telah diukur dan diberi
harga dengan sesuatu yang bersifat material – dengan sebuah takaran anatomis.
Tidak adanya bekas tetesan darah pada “malam pertama” di atas alas tidur akan
sangat menggelisahkan sang pengantin perempuan dan keluarganya. Kejadian seperti
ini seolah-olah merupakan hakikat dari sebuah aib besar, dan jangan tanya soal
perilakunya sebelum perkawinan, karena keperawanan lebih dilihat sebagai
paradigma nilai yang lebih penting dari realitas moral dalam keseluruhan sikap
hidupnya sehari-hari.
Sepertinya penting juga dikemukakan apa sebenarnya
keperawanan anatomis itu, berdasarkan ilmu kedokteran, simbol keperawanan
adalah selaput dara yakni sebuah jaringan yang sangat halus dalam vagina,
sehingga dapat terjadinya pendarahan saat melakukan hubungan seksual. Selaput
lendir yang menghalangi lubang vagina ini berbeda-beda bentuk, potongan, dan
ukurannya. Bisa jadi dalam beberapa kasus seperti yang diungkapkan oleh Albert
H. Buck dalam bukunya A Reference Handbook of the Medical Science yang
dikutip oleh Zulkarnain Abdullah, bahwa liang vagina tertutup sepenuhnya oleh
selaput dara. Sebaliknya juga, selaput dara itu telah tidak ada lagi atau
lenyap akibat aktivitas-aktivitas yang dilakukan pada masa kanak-kanak.
Sebuah bentuk keperawanan anatomis tentu tidak akan
menjamin pribadi perempuan yang masih memiliki kesucian ataupun kehormatannya.
Perempuan yang telah kehilangan keperawanannya pun masih mungkin memiliki
kehormatan bahkan kesuciannya. Karena moral keperawanan tidak semata-mata hanya
diukur oleh selaput lendir yang amat tipis. Murah sekali lantas kehormatan
seorang perempuan jika hanya diukur dari segi anatomis. Zulkarnain Abdullah
menambahkan bahwa keperawanan memang mempunyai nilai makna simbolik tersendiri.
Keperawanan menyiratkan kesucian dan kesetiaan pada norma dan kemuliaan
perilaku yang berkaitan dengan hubungan seksual. Akan tetapi, keperawanan tidak
dapat dijadikan sebagai ukuran hakiki kehormatan seseorang dengan harga mati.
Di sinilah kita perlu berhati-hati untuk tidak terlalu mensakralkan keperawanan
dan tidak pula merendahkannya. Untuk itulah, sebuah moral bentuk keperawanan
hendaknya diukur juga melalui cermin kehidupan sehari-hari. Perempuan yang
masih mempunyai moral keperawanan (kehormatan) ialah dia yang memiliki
kepribadian yang mulia, kejujuran, ketakwaan dan amanah, bukan diukur melalui
ada atau tidaknya selaput dara yang menempel. Sebuah bentuk anatomis yang
menipu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar